Lihat ke Halaman Asli

Deri Prabudianto

Hanya orang biasa

Namaku Awai 184-186

Diperbarui: 18 Juni 2018   07:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

" Dapat tips dari pelanggan ? Besar amat. Aku cemburu loh," ucap Tiong It.

" Cemburulah sepuasmu. Mana ada pelanggan mengasi tips sampai 5 ribu, 5 rupiah mungkin. Ini uang titipan papa untuk membeli buku tulis dan pena. Ayo pulang. Aku harus singgah ke toko buku."

" Buat apa paman Tan membeli buku dan pena?." Tanya Tiong It.

" Untuk menulis kisah Sam Kok." Awai hanya bercanda. Apa yang ingin ditulis ayahnya ia tak tahu.

" Wah, asik. Nanti aku numpang membaca." Kata Tiong It bersemangat.

" Harus membayar sewa. " Awai menyodorkan tangan.

" Oke. Bukunya tak usah dibeli, begitu juga pena. Besok kukasi gratis. "

" Tumben baik padaku, mau mengambil hati papa supaya,-----" wajah Awai memerah. Ia ingin mengatakan, mengambil hati papa supaya mengizinkan aku pacaran denganmu? Untung ia sempat mengerem kata katanya. Kalau diteruskan, omongannya akan membuatnya malu sendiri seakan ia berharap banget bisa pacaran dengan Tiong It.

" Supaya hemat. Tul, kan ?" sambung Tiong It.

Awai senang mendengarnya. Tiong It pintar membuatnya nyaman ngobrol lama bersamanya. Keduanya berjalan kembali ke kedai kopi. Tiba di pasar, keduanya kaget, dan segera bersembunyi di tong sayur sambil berdesak-desakan hingga tubuh mereka lengket jadi satu. Di samping pasar, selain penjual kepiting juga ada penjual ayam kampung. So Ting Ling sedang menemani ibunya memilih ayam kampung. So Ting Ling berwajah sebal, sedangkan ibunya sibuk menawar.

" Cepat, mama ! Disini bau ! Aku sudah mau muntah !"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline