Lihat ke Halaman Asli

Deri Prabudianto

Hanya orang biasa

Namaku Awai 131-133

Diperbarui: 23 Mei 2018   08:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sampul Npvel

Kemesraan itu berlangsung selama beberapa hari. Setiap datang Tiong It membawa sekuntum bunga mawar yang ia petik dari rumah makcik Ros. Ia masih belum sadar rumah itu tak berpenghuni. Ia selalu datang di sore hari, ia memanggil makcik Ros, tak ada jawaban dari rumah itu. Dipetik sekuntum bunga Ros, lalu ia berangkat ke rumah sakit.

Saat ia datang, terkadang Awai sedang menyuap Tan Suki makan, terkadang sedang melatih tangan dan kaki ayahnya. Kalau tidak hujan, Awai bisa meminta bantuan Tiong It memapah ayahnya berjalan ke luar untuk didudukkan di taman. Tan Suki seakan merestui anaknya pacaran dengan Tiong It. Ia mengebaskan tangan menyuruh keduanya pergi.

Mulanya Awai bingung. Papanya mengodenya dengan tangan menyuruhnya pergi. Pergi kemana ? Tan Suki mengode Awai supaya mendekat. Setelah Awai dekat, Suki meminta Awai menjulurkan tangan.

Dengan tangan yang bisa bergerak Suki menulis di telapak tangan Awai: A jak Tiong It ja lan ja lan.

" Jalan jalan kemana ?" tanya Awai.

Suki menulis : sek kuei.

Awai melongo, lalu menundukkan wajahnya. Banyak orang tua masih ortodok, melarang anaknya pacaran, lebih suka menjodohkan anaknya dengan anak teman dekat atau pemuda pilihan orangtua. Ayahnya malah mendorongnya berpacaran dengan Tiong It. Secebis keharuan melanda hati Awai.

" Nanti papa terjatuh aku akan dimarahi mama," tolak Awai.

Suki menulis : Pa pa a kan du duk di am hing ga ka mu kem ba li. Per gi lah...

Awai sangat terharu. Ia memeluk papanya dan menangis. Papanya menulis di tangannya : Ja ngan me na ngis. Pa pa ingin me li hat mu ba ha gia. Pa pa ke ce wa ji ka ka mu ti dak me nu rut.

Awai terdiam. Ia menatap papanya dengan tatapan tak percaya. Dulu, semasa masih sehat, bila di rumah papanya tak betah tinggal di rumah, lebih suka berkumpul dengan teman-temannya. Ia mengira papanya tak sayang pada anak-anaknya. Kini ia tahu mungkin itu disebabkan karena di laut suasana begitu tenang sehingga berada di rumah dengan seorang istri dan delapan mulut yang berkotek papanya merasa seakan terlempar ke tengah pasar sukaramai.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline