Lihat ke Halaman Asli

Deri Prabudianto

Hanya orang biasa

Namaku Awai 39-42

Diperbarui: 23 April 2018   09:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok.pribadi

" Aku ingin mengajakmu Sek kue. Apa kamu bersedia ?" Tanya Tiong It.

Awai gugup mendengar permintaan Tiong It. Hatinya senang untuk menerima. Tapi, apa kata teman temannya nanti ? Ia pasti jadi bahan ledekan. Belum dewasa sudah pacaran ? Belum pintar cari duit sudah pacaran? Apa mau bergantung hidup dengan mertua selamanya?

Tayangan tivi dari negara tetangga membawa perubahan dalam pola pikir anak muda di Bengkalis. Film barat dan mandarin mengajarkan susahnya hidup di kota, harus punya penghasilan baru boleh berumah tangga, bergantung pada mertua itu memalukan, parasitisme itu mencemarkan nama baik. Berumah tangga harus berdasarkan cinta, bukan dijodohkan.

Awai memandang Tiong It. Tiong It sedang menunggu jawabannya. Entah kenapa ia mengangguk. Ia berusaha mencari teman-temannya. Tak satu pun yang tampak batang hidungnya. " Boleh, tapi nanti aku pulang sendiri. Jangan diantar. Nanti aku tak bisa tidur diledek kakak adikku." Pinta Awai.

" Aku setuju."

Keduanya naik ke salah satu beca yang mangkal di depan pasar. Beca mulai berjalan, meninggalkan kerumuman di kelenteng yang sedang memperebutkan minyak ajaib hasil cuci tangan seorang kitang/medium.

Awai duduk dengan manis di samping Tiong It. Ia melipat roknya, dijepit agar tak ditiup angin.

" Kemana kita ? " Tanya Awai.

" Ke dermaga Sungai Alam. " jawab Tiong It.

" Buat apa ? "

" Kita naik perahu ke tengah laut."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline