Lihat ke Halaman Asli

Deri Prabudianto

Hanya orang biasa

Namaku Awai 1-4

Diperbarui: 14 April 2018   08:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

pe

Bengkalis, sebuah pulau yang dikelilingi laut. Di mana-mana ada dermaga, besar maupun kecil. Yang besar terbuat dari kayu balok sebagai penopang yang dicacakkan ke laut, landasannya terbuat dari papan tebal yang dipaku dengan pasak besi. Dermaga kecil penopangnya terbuat dari kayu bakau, landasannya berupa dahan bakau bulat yang dipaku dengan paku biasa.

Dermaga Sungai Alam termasuk dermaga menengah, landasannya papan setebal 2 cm, cukup rata untuk bersepeda atau mendorong grobak. Bentuk dermaganya mirip hurup T.

Awai dan Akun bersepeda hingga ke ujung dermaga. Setibanya di ujung kepak sayap hurup T, sepeda ditumbangkan. Andai disandar tegak, tiupan angin akan menumbangkan sepeda-sepeda itu, bahkan adakalanya tercampak ke laut, hilang dibawa ombak, dan mereka akan dihukum bersujud seharian di depan meja sembahyang untuk merenungi kelalaian mereka.

Seorang wanita berambut lusuh, berpakaian kusam penuh tambalan, menggendong sepotong dahan kayu, duduk bersimpuh sambil menyanyikan lagu nina bobo seakan sedang meniburkan bayinya. Akun dan Awai mengabaikan wanita itu. Pemandangan itu sudah biasa mereka lihat setiap hari. Tak perlu dipertanyakan lagi. Setahu mereka, perempuan itu bernama Akui, otaknya miring alias gila.

Keduanya melompat ke dalam sebuah perahu, melepas ikatan tali, mendorong perahu sekuat tenaga agar menjauhi dermaga. Kepala perahu agak berputar. Akun menyambar dayung dan mulai mendayung. Begitu pula Awai.

Selat itu dinamakan Selat Bengkalis, di depan mereka terpampang pulau Sumatera yang tampak hitam seakan burung gagak yang angkuh. Begitu perahu tiba di tengah, Awai menebar jala, Akun tetap mendayung. Jala ditebar berbentuk setengah lingkaran untuk menjebak ikan agar terkurung di tengah. Setengah jam kemudian Awai menarik jaring, Akun berhenti mendayung, membantu Awai menarik jaring. Ikan-ikan menggelepar-gelepar terjerat jaring. Setelah seluruh jaring berhasil ditarik ke perahu, Awai mulai memunguti satu per satu ikan yang tersangkut di jaring. Ikan senangin, ikan puput, layur, biyang, terkadang ada juga tenggiri yang menyangkut di jaring tapi tidak terlalu besar. Paling besar 2 jengkal. Jaring yang mereka gunakan jaring 1 inci, hanya bisa menjerat ikan berukuran kecil.

Satu sore mereka bekerja, terkumpul sebakul ikan yang kalau ditimbang berkisar antara 15-20 kg. Cukup untuk dijadikan lauk selama 10 hari. Sebahagian ikan itu dijadikan ikan asin agar tahan lama.

Pulang ke dermaga hari sudah menjelang gelap. Perempuan gila itu masih bernyanyi. Suaranya membuat bulu roma berdiri. Awai mengikat bakul ikan di tempat barang, lalu mengendarai sepedanya. Sementara itu Akun membabat kayu bakau untuk dijadikan kayu bakar. Kalau ia pulang tanpa membawa kayu bakar, ia akan didamprat ibunya.

Pada era 70-an belum dikenal istilah Keluarga Berencana. Setiap keluarga bebas punya anak sesuka hati. Ada yang anaknya 5, 7, 10, bukan 12. Ada ibu yang setiap tahun melahirkan hingga masa suburnya habis. Anak yang dilahirkan bisa 10 hingga 18, tapi yang bertahan hidup separuhnya. Sebagian meninggal dalam kandungan alias keguguran, sebahagian lagi meninggal akibat gizi buruk dan penyakit. Melahirkan bukan di rumah sakit, melainkan di rumah bidan atau dukun kampung.

Awai mempunyai 4 adik dan 3 kakak, ia anak ke empat. Usianya 16 tahun. Saat ini duduk di kelas 2 SMP. Sebetulnya usia 13 ia sudah tamat SD, tapi tidak melanjutkan berhubung saat itu ekonomi keluarganya sedang terpuruk. Saat berusia 14 kondisi keuangan keluarganya membaik, dan dia diizinkan meneruskan pendidikan asal sore hari membawa Akun menjala ikan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline