Lihat ke Halaman Asli

Deri Fadilah

Family Man

Wanita dan Secuil Cerita di Balik Kain Tenun NTT Kini!

Diperbarui: 25 Januari 2019   10:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Proses menenun kain NTT / dokpri

Andai kain tenun ini lebih dihargai nilainya, mungkin wanita-wanita muda disini akan tertarik meneruskan warisan menenun, dan tak pergi mengadu Nasib Tergantung Tetangga (NTT). 

Mungkin itulah kalimat yang sedikit menggambarkan sebagian kondisi wanita di Nusa Tenggara Timur (NTT) saat ini.

Masyarakat NTT menggandeng sterotipe yang sangat beragam. Ada yang mengatakan NTT: nasib tidak tentu, nasib tergantung tetangga, nanti Tuhan tolong. Istilah-istilah ini dipakai ditengah masyarakat dalam menggambarkan kompleksitas persoalan yang ada. 

Setiap predikat ini disisipkan ketika melihat pada persoalan yang melilit masyarakat NTT. Kemiskinan, human trafficking, degradasi moral dan lain sebagainya.

Adapula suara hati seorang Heni Yang terlihat dari raut wajahnya, wanita asli Flores ini gencar menggerakkan misi keadilan, ekonomi dan budaya melalui pelestarian Kain Tenun khas NTT, melalui sebuah organisasi non pemerintah yang berbasis di Labuan bajo Yang berdiri sejak 2005.

Sambil memperkenalkan kepada kami rombongan media dan blogger jalan-jalan ke Labuan Bajo yang difasilitasi oleh JNE tentang perjalanan panjang sebuah Kain tenun Flores, Heni menularkan semangat untuk mengajak kita lebih menghargai nilai-nilai arti dibalik sebuah barang yang memiliki ikatan kuat dengan budaya, ketimbang hal lain misalnya popularitas seperti kain tenun Flores . 

"Yang membuat kami sedih, dihargainya gak seberapa, padahal banyak sekali cerita panjang yang jauh lebih berharga dari itu semua," katanya.

Foto wanita penenun NTT di Baku peduli Center / dokpri

"Penenun sekarang sudah semakin sedikit, di wilayah kami anak muda lebih tertarik mencari penghasilan keluar daerah, bahkan keluar negeri. Selain dampak pengaruh arus informasi, lapangan pekerjaan juga sedikit," sambung Heni.

Bayangkan, untuk proses pembuatan paling cepat saja jenis selendang kain tenun Manggarai ukuran 20cm memakan waktu  3 Hari, dan dihargai 100 ribu rupiah. 

Belum lagi beredar pula kain tenun Flores produk konveksi yang berasal dari wilayah luar NTT seperti pulau Jawa dan Bali, yang kemudian ditawarakan kepada para wisatawan yang berkunjung ke wilayah NTT, parahnya lagi diklaim merupakan hasil tenun asli lokal. Hal tersebut makin membuat mantap rasa ingin meninggalkan warisan menenun dan lebih memilih pergi mencari penghidupan layak di negeri seberang.

Memang, dulunnya wanita Flores menenun sebagai bagian dari kegiatan rutin di dalam rumah untuk mengisi waktu ketika sang pria mencari nafkah diluar rumah. Tapi, kini jaman telah berubah, wanita Flores lebih tertarik tidak di dalam rumah. Emansipasi disini sangat berdampak terhadap budaya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline