Lihat ke Halaman Asli

Ternyata Sawit Penyebab Banjir dan Kekeringan

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

[caption id="attachment_117597" align="aligncenter" width="680" caption="Sungai Siak. Seorang petani sawit tengah menyusuri Sungai Siak mengangkut buah sawit seusai panen di kebun sawit miliknya. Di Riau, kebun sawit pada umumnya dimiliki perusahaan-perusahaan besar dan masyarakat hanya sebagai buruh di tanah mereke sendiri. [foto: 17/12/10"] "][/caption]

KELAPA sawit (Elaeis) bisa diatakan sebagai kambing hitam penyebab utama banjir dan kekeringan yang terjadi di Indonesia, hal ini disebabkan sifat kelapa sawit yang tidak menyerap air hujan ketika terjadi musim penghujan, dan menyerap cadangan air bawah tanah ketika terjadi musim kemarau.

Hal ini dikatakan ahli lingkungan hidup Universitas Riau Prof Dr Ir H Adnan Kasry dalam workshop Ekspedisi Kebudayaan 4 Sungai (Sungai Siak) yang ditaja Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kemasyarakatan Universitas Riau, di gedung FKPMR Pekanbaru.

Lebih lanjut ketua Forum Daerah Aliran Sungai Siak (FORDAS Siak) ini menuturkan, kelapa sawit merupakan tumbuhan monokotil (berakar serabut) sehingga air hujan yang melimpah tidak terserap ke dalam tanah dan hanya mengalir di daratan menuju aliran sungai, air yang mengalir tersebut akan membawa zat hara dan mengendap di dasar sungai. Akibatnya, tanah akan menjadi gersang dan sungai akan semakin dangkal. Dan bila musim kemarau, kelapa sawit akan menyerap cadangan air bawah tanah dengan jumlah yang besar untuk memenuhi kebutuhannya agar bisa bertahan hidup dan berbuah. Berbeda halnya dengan tumbuhan dikotil (berakar tunggal), tumbuhan ini akan menyerap air hujan ke dalam tanah dan menyimpannya diruang-ruang bawah tanah di dekat akar tunggalnya, dan bila musim kemarau tumbuhan dikotil akan melepaskan cadangan airnya sehingga sungai dan sumur-sumur yang ada disekitarnya tidak akan kekeringan.

“Saya selalu dibilang orang bahwa saya adalah anti kelapa sawit, tetapi sejatinya bukan, kelapa sawit memang tidak bersahabat dengan lingkungan”, ujarnya.

Sekretaris Senat Universitas Riau ini menjelaskan, selama ini sungai-sungai di Indonesia, khususnya Riau mengikuti pola sungai pada umumnya, dimana setiap tahun selalu tejadi banjir musim penghujan dan bajir besar (bandang) mengikuti pola 10, 20, 50 atau 100 tahunan, tapi saat ini pola banjir mulai berubah dan semakin tidak teratur bahkan tidak bisa diramalkan. Setiap tahun selalu terjadi banjir bandang yang menimbulkan kerugian besar yang berdampak pada kegiatan perekonomian masyarakat. Sebaliknya pada musim kemarau, debit air menjadi kecil dan menyebabkan sangat terganggunya penyuplaian bahan baku air minum bagi masyarakat, kematian ikan secara massal, terganggunya alur pelayaran, semakin suburnya tumbuhan enceng gondok, dan semakin melebarnya abrasi pinggir sungai.

“Warga Pekanbaru sumber kehidupannya ada di Sungai Siak, jika sungai ini kering atau tercemar dipastikan sumur-sumur warga juga akan kering atau tercemar”.

Sebagai solusinya, lanjut guru besar Universitas Riau ini, pemerintah harus membuat arah kebijakan yang jelas tentang Daerah Aliran Sungai (DAS), salah satunya dengan menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS).




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline