Lihat ke Halaman Asli

Secangkir Airmata Duyung 08: Diintip Maunya

Diperbarui: 23 Juni 2015   21:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

“ Minum ya, sayang….” Ucap nyonya Lie lembut.

Gadis itu menggelengkan kepala. Bukan hanya sekali, tapi berkali kali, seakan akan obat itu jamu pahit. Kobastian merasa heran. Andai dibilang kehilangan akal sehat, atau kehilangan ingatan, tak mungkin gadis itu menggeleng. Nyonya Lie menatap Kobastian, “ Pegang rahangnya ya…”

Kobastian mengangguk. Ia mendekatkan tangannya dengan sikap takut takut, memegang dagu itu dengan pelan seakan akan takut kulit putih halus itu lecet. Gadis itu diam saja. Namun begitu nyonya Lie mendekatkan cangkir, kepala gadis itu ditarik ke belakang seakan akan ogah meminum isi cangkir.

“ Pegang yang kuat ya, Tian. Satu tanganmu pegang lehernya agar tak bisa mundur, satu tangan lagi tahan rahangnya agar jangan maju, aku meminumkannya.” Kata nyonya Lie.

Kobastian risih, tapi ia disuruh. “ Apa tak sebaiknya dibaringkan, nyonya ?”

“ Kalau dibaringkan nanti dia tersedak.”

Mau tak mau Kobastian menahan leher gadis itu dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanan menahan rahang. Nyonya Lie mendekatkan cangkir, begitu hampir menyentuh bibir, gadis itu meronta dengan kuat, akibatnya isi cangkir hampir tumpah kalau nyonya Lie tak cepat cepat memundurkan cangkir.

Gadis itu memberontak dengan hebat. Meronta ke kiri dan kanan seakan akan ingin melepaskan diri dari cekalan Kobastian. Kobastian kewalahan. Ia tak tega menggunakan kekerasan terhadap wanita, apalagi wanita yang belum dikenalnya, ia melepaskan pegangan. Gadis itu duduk diam. Tidak memandang ke Kobastian sama sekali atau ibunya.  Nyonya Lie menampakkan wajah lesu.

“ Minum ya, obat ini untuk menyembuhkanmu…” bujuk Kobastian.

Gadis itu menggeleng berkali kali.

“ Aku kewalahan. Setiap kali selalu begini. Entah kapan semua ini akan berakhir…” Suara Nyonya Lie terdengar bagai keluhan.

Kobastian ingin bertanya kenapa tidak menyuruh Tuan Lie, atau anak anak lain membantu nyonya Lie, tapi rasanya itu terlalu ikut campur urusan rumah tangga orang. Bisa saja semua sibuk dengan pekerjaan masing masing.

“ Kalau makan, nyonya menyuapnya ? “ tanya Kobastian.

“ Tidak. Kalau makan dia makan sendiri. Minum juga minum sendiri. Makan obat dokter juga tak serepot ini. Hanya obat paranormal yang ditolaknya mati-matian. Aku sudah lelah. Lelah sekali, tak tahulah kapan semua ini akan berakhir.” keluh nyonya Lie mencurahkan isi hatinya.

Kobastian kasihan mendengar curhat nyonya Lie. Ia ingin membantu, tapi ia hanya seorang kacung di kapal pengangkut BBM. Apa yang bisa dilakukan untuk nyonya Lie ?

Nyonya Lie menghapus airmatanya, lalu berkata “ Kita coba sekali lagi, ya.”

“ Aku…aku takut memegangnya terlalu keras nanti lehernya terkilir atau kulitnya terluka…” dalih Kobastian.

“ Gapapa, aku tak menyalahkanmu  andai ia terluka. “

Kobastian tak bisa berbuat apa apa selain menuruti keinginan Nyonya Lie. Kali ini ia tidak memegang leher, tapi ujung kepala bagian belakang, satu tangan lagi memegang dagu, entah kenapa ia teringat sosok wanita yang dilihatnya di Suar 37, mungkin karena agak mirip, tanpa sadar ia berdoa dalam hati.  Putri Intan…. Bantulah membuka mulut gadis ini agar pengobatan berjalan lancar

Gara gara gugup, apa yang didoakan dalam hati itu terucap keluar, tapi yang kedengaran hanya kalimat ini “ Bantulah membuka mulut gadis ini agar pengobatan berjalan lancar,”

Nyonya Lie mendekatkan cangkir. Gadis itu diam saja. Pada mulanya nyonya Lie menyangka itu gara gara pegangan Kobastian yang kuat, tapi Kobastian santai saja seakan akan tidak mengeluarkan tenaga. Bahkan tidak menatap ke wajah nyonya Lie atau anaknya. Sama sekali tidak terjadi pemberontakan saat bibir cangkir bertemu bibir gadis itu. Nyonya Lie terbengong.

Gadis itu minum air cangkir itu hingga kering. Tangkue ikut dimakan. Nyonya Lie menatap gelas kosong yang tersisa abu kertas jimat dengan wajah heran. “ Tian, kamu tadi baca doa apa ?”

“ Tidak baca doa apa apa, nyonya. Hanya meminta anakmu membuka mulut.” Jawab Kobastian.

“ Belum pernah ia minum obat paranormal segampang ini,”

Kobastian tak tahu sesusah apa sebelumnya nyonya Lie meminumkan obat pada anaknya, ia hanya tersenyum. Ia melepaskan kedua tangannya. “ Sudah malam, nyonya, Tian permisi…”

“ Ohya, sudah malam. Eh, kapan kamu kembali ke Dumai ?” tanya nyonya Lie.

“ Tiga atau empat hari lagi, nyonya.”

“ Nanti kalau mau berangkat kesini  ya, aku titip barang lagi kayak dulu.”

“ Baik, nyonya. “ Kobastian berjalan ke halaman, memakai sendal, dan langsung pulang, sementara nyonya Lie mengajak anaknya masuk ke rumah. Kobastian tak tahu, saat ia menolong nyonya Lie, banyak tetangga yang mengitip perbuatannya. Ada pejalan kaki dan pesepeda  yang berhenti untuk menonton perbuatannya. Biang gosip menyebarkan virus gosip secepat penyebaran flu di musim hujan.

Bongkar muatan memakan waktu sehari. Drum dikosongkan, dimuat kembali ke kapal. Terjadi hitung-hitungan antara pemilik kapal dengan penyewa kapal dan nachoda, setelah itu kapal bersiap berangkat ke Dumai.

Saat di darat, setiap pagi Kobastian naik sepeda ke dermaga untuk bertanya kapan kapal berangkat, selain itu juga ke pasar untuk menjual telor. Ia memelihara 20 ekor ayam kampung betina dan 5 ekor ayam jantan. Telur ayam kampung banyak diminati orang untuk sarapan pagi, direbus separo matang, dicampuri merica dan kecap, rasanya sedap sekaligus untuk menambah stamina. Hasil penjualan telur ditabung. Kobastian bercita cita ingin punya kapal sendiri.

Pagi ini, saat pulang ke rumah setelah menjual telur, Kobastian melihat Sania sedang menggali keledek. Wajah Sania ditekuk, mukanya basi, kesannya Sania sedang sebal terhadap seseorang. Siapa yang berhasil membuat Sania meradang ?

“ Thi O O, Bek Lo ho,---” baru saja Kobastian menyanyikan  sebait lagu, kontan ia mendengar bentakan keras.

“ Diam !”

“ Sedang sebal dengan siapa, San Niang ?”

“ Aku tak perlu menjawab pertanyaan pria hidung belang ! Jangan ganggu aku lagi !” teriak Sania mengalahkan suara motor yang lewat di jalan raya. Kobastian angkat bahu. Ia masuk ke rumah dengan gestur apa boleh buat. Setiap bertemu Sania selalu bertengkar,  rasanya menghibur karena hanya Sania yang bisa diajak bertengkar. Adik adiknya pagi sekolah, sore kelayapan entah kenapa. Di rumah terkadang rasanya sama sepinya dengan di kapal. Jika ia ngobrol dengan ibunya, ibunya selalu berusaha menjodohkannya dengan gadis gadis tetangga. Menurut ibunya, umur 21 pria sudah pantas menikah. Kobastian selalu membantah. Menurutnya, lelaki harus punya penghasilan yang mencukupi baru menikah. Sebulan dengan penghasilan 100 -120 ribu belum mencukupi untuk hidup 2 orang.

“ Kalau kamu menikah dengan Sania, gaji 100 ribu sudah cukup. Dia rajin menanam keledek, “ alasan ibunya.

“ Aku tak suka keledek. Aku lebih suka makan nasi,”

“ Kalau begitu, suruh dia masak nasi untukmu, sedangkan dia makan keledek, begitu aja kok mesti mama yang ajari ?” skak ibunya.

“ Aku makan nasi, dia makan keledek, lauknya apa donk ?”

Ibunya terdiam. Keledek hanya cocok direbus langsung dimakan, digoreng langsung dimakan, dimasak bubur dimakan tanpa lauk, sangat tidak serasi satu orang makan nasi yang butuh lauk sedangkan yang lainnya tidak.

“ Pemilih ! Semoga kamu ketemu ikan duyung terus dibawa ke dasar lautan, sama sama makan ganggang hijau !” sembur ibunya sebal.

“ Emang betul ikan duyung makan ganggang hijau? Apa bukan makan manusia ?” tanya Kobastian penasaran karena ia tak pernah mendengar orang bilang duyung makan apa. Mungkin makan ikan teri, atau bahkan tak makan sama sekali.

“ Baguslah kalau kamu dimakannya. Daripada jadi bujang lapok. “

“ Tian belum bujang lapok, ma. Tian baru 21 tahun.” Debat Kobastian. Ibunya kewalahan, malas ngomong lagi, pura pura sibuk memilih padi di karung beras. Tian kesepain lagi. Untuk menghilangkan kesepian, sore itu ia ke rumah Atek, mendengar cerita Atek tentang Kisah Ayer Mata Duyong. Ayer Mata Duyong ternyata sebuah cerita kutukan. Seorang anak raja bernama Tengku Intan jatuh cinta pada seorang nelayan muda bernama Awang Jermal. Awang Jermal pemenang pesta rakyat bermain gasing sekaligus jago silat. Hubungan ini ditentang oleh Bendahara Kerajaan. Awang Jermal disuruh ke Pulau Pandan mencari burung Tiung. Di pulau itu Awang  dikeroyok oleh sekumpulan preman. Awang Jermal diceburkan ke laut dan dinyatakan mati. Tengku Intan mendengar kabar kematian kekasihnya, kontan jatuh sakit hingga hampir meninggal. Awang Jermal ternyata selamat. Raja akhinya merestui anaknya menikah dengan rakyat jelata. Bendahara mengingatkan raja, bahwa ada sebuah pantangan di kerajaan itu, jika putri raja menikah dengan rakyat jelata, maka putri tersebut akan berubah menjadi ikan duyung. Raja bandel, tak peduli, tetap menikahkan putrinya dengan Awang Jermal. Pada saat acara siraman, petir menggelegar, kilat menyambar, Tengku Intan tercebur ke laut, dibawa ombak ke sebuah pulau kecil, dari ujung kakinya tumbuh ekor dan sisik. Sejak itu Tengku Intan berubah menjadi ikan duyung. Awang Jermal ternyata sangat mencintai istrinya. Ia ke pulau itu, setiap hari memanggil istrinya. Seorang gadis bernama Dara setiap hari mengantar makanan untuk Awang Jermal, Awang Jermal memberikan makanan itu untuk Tengku Intan, namun Tengku Intan yang telah berubah wujud menjadi duyung enggan menemui Awang Jermal. Terakhir, Tengku Alang, Putra raja yang juga bersahabat dengan Awang Jermal, datang menjemput sahabatnya. Melihat kondisi Awang Jermal yang menyedihkan, Tengku Alang membawa sahabatnya kembali ke kerajaan, sedangkan Putri Duyung menatap kejadian itu dengan deraian airmata.

bersambung...

Bersambung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline