Etnis India adalah salah satu etnis Asia yang banyak saya temukan di London. Banyak dokter keturunan India yang menjadi konsultan (dokter pakar/subspesialis) di sebuah rumah sakit pendidikan tempat saya menimba ilmu. Banyak pula dokter keturunan India yang bisa hands-on training disini.
Hands-on training adalah magan yang memperbolehkan dokter non-lulusan Inggris untuk berinteraksi lansung dengan pasien, termasuk ikut shift jaga malam. Untuk bisa hands-on training, seorang dokter non-lulusan Inggris harus mengikuti rangkaian tes yang tidak mudah dan tes itu dalam Bahasa Inggris. Harga tes pun mahal, sekitar 2000 pounds (45 juta rupiah) kalau melihat di internet. Jadi bisa dipastikan mereka yang bisa hands-on training, sudah pasti lulus ujian tersebut dan kemampuan Bahasa Inggris mereka sudah sangat baik.
Mempunyai kemampuan berbahasa Inggris, menurut saya, sangat diperlukan. Saya punya keterbatasan itu. Dan dampaknya, saya sulit menyampaikan pertanyaan dan pendapat dalam Bahasa Inggris. Apalagi ketemu supervisor yang ngomong Inggris nya cepat dengan aksen British yang kental. Kalau dengar pembicaraan Inggris sambil makan saja, saya tidak bisa mengerti 100%. Butuh fokus. Kalau mau bertanya, saya susun dulu kalimat dalam hati. Sekiranya sudah merasa benar kosakata dan grammarnya, barulah saya bertanya. Biar ga malu-malu amat.
Dokter keturunan India tidak memiliki kesulitan itu. Mereka fasih berbahasa Inggris dengan logat India yang khas. Saya pernah bertanya: “ I wonder why most of Indian can speak English fluently?”. Jawabnya kira-kira begini: “Because English is part of our life. We learn English since childhood. And many of us speak English in daily life. It is common for us to mix Indian, local language, and English during our conversation.”
Kalau orang Indonesia berbicara Bahasa Inggris, dicibir sok gaya, sok kebarat-baratan, dan ga nasionalis. Dan kalau tidak salah, mata pelajaran Bahasa Inggris dihapuskan di kurikulum pendidikan SD di Jakarta (benar kah?). Jamak ditemukan kita bisa berbahasa Inggris pasif (menulis), tapi sulit ketika harus berbicara aktif.
Kita mungkin perlu bertanya, apakah ada hubungan belajar berbicara bahasa asing dengan nasionalisme? Pada kenyataannya, tidak bisa berbahasa Inggris membawa kerugian. Bahan bacaan rujukan banyak yang berbahasa Inggris. Film banyak yang berbahasa Inggris. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, label makanan pun berbahasa Inggris.
Sering saya kesal dengan orangtua yang mengeluh malas membaca referensi artikel kesehatan berbahasa Inggris. Hari gini, ada google translate. Bisa juga diunduh aplikasinya di smartphone. Smart parents pasti punya smart phone kan?
Yah, kembali lagi ke diri masing-masing. Saya pribadi hanya bisa menyesal kenapa saya dulu malas kursus Bahasa Inggris padahal sudah dibiayain oleh orangtua.
#just my two cents...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H