Lihat ke Halaman Asli

Lampu Merah

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lampu merah menyala, dua motor susul menyusul menyerbu detik-detik terakhir transisi. Lolos. Yang dibelakangnya sudah sejak tadi mengurangi kecepatan, dan berhenti tepat sebelum marka pembatas penyeberangan jalan, zebra cross.

Biasanya, zebra cross segera diinjak oleh para pejalan kaki, tapi pagi ini tidak; tidak, kecuali seorang bocah laki-laki yang segera menyusuri zebra cross dan masuk ke badan jalan, menyusup di antara barisan roda dua dan roda empat ke tengah-tengah belantara asap yang menyingkirkan segarnya pagi.

Mengibarkan panji-panji penghidupannya, si bocah menghampiri setiap kendaraan. Tidak mengemis, tidak. Dia membagikan warta pagi yang tertuang dalam cetakan-cetakan huruf dan gambar, koran seribuan. Seribu rupiah, harga yang terlampau murah untuk kayanya informasi yang dibagi. Seberapa bagiankah dari seribu itu yang bocah ini terima? Rasanya, seberapapun, itu terlalu kecil untuk bocah ini.

"satu 'le," pinta seorang ibu yang membonceng suaminya.

"ini semuanya" tambah sang ibu.

Menerima satu lembar uang lima ribuan, bocah tadi segera menyiapkan lima eksemplar. Tetapi belum selesai menghitung sampai tiga, ibu tadi menghentikannya.

"buat kamu, buat ibu korannya satu 'aja."

"oh, makasih 'bu"

Sudut-sudut luar bibirnya naik ke arah mata, hampir memenuhi pipinya. Sedangkan sudut-sudut luar matanya mengkerut, menyudut, matanya berbinar, matanya tersenyum. Senyum orisinil dihiasi sedikit keterkejutan. Senyum yang tidak segera hilang, atau kabur karena kepura-puraan. Senyum yang kemudian dibagikan pada semua pengendara di balik kabut asap kendaraan, yang memulihkan sejuknya pagi.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline