Semua orang pasti pernah terluka, baik fisik maupun batin. Dikatakan fisik dan batin karena keduanya sama-sama bisa menimbulkan rasa perih. Fisik yang tergores menimbulkan luka pada badan. Batin yang tergores menimbulkan luka pada jiwa. Luka fisik mungkin lebih mudah didiagnosis dan diobati.
Namun bagaimana dengan luka batin yang seringkali tampil secara samar-samar? Jiwa kita bisa saja tergores karena sabitan dari teman, keluarga atau bahkan dari diri sendiri. Luka pada jiwa inilah yang terkadang susah diobati karena tidak hanya menimbulkan perih melainkan juga frustrasi, kekesalan, kehilangan semangat, kesepian atau bahkan kehilangan pengharapan. Luka ini juga tak jarang menjadi komplikasi yang menimbulkan efek domino yakni luka-luka baru.
Modern ini tak ada seorangpun yang terkecualikan dari luka. Luka menghampiri siapa saja tanpa pandang bulu, hanya saja mengikuti pandangan postmodern, mungkin perlu dibedakan tipe-tipe orang yang terluka. Tipe pertama adalah orang yang terluka dan keadaannya yang terluka dapat dilihat oleh orang-orang di sekitarnya.
Tipe kedua adalah orang yang terluka namun ia tak terlihat terluka, ia dapat menyembunyikan keadaan jiwanya yang berdarah di tengah hiruk-pikuk dunia. Lalu, bagaimana posisi para pelayan yang melayani orang-orang terluka? Kerap kali mereka jatuh ke dalam tipe kedua. Mereka berusaha membantu orang yang terluka dengan tampil seolah-olah mereka sehat dan tak bercacat. Di balik itu mereka menyimpan sederat luka menganga yang belum diperban dan tak terekspos.
Pelayan-pelayan yang tergolong tipe kedua melakukan pelayanannya dengan tampil bak superhero. Ya, superhero kan tak manusiawi. Terluka adalah manusiawi. Tak terluka berarti melampaui manusiawi. Sayangnya mereka adalah superhero palsu yang sedang menyangkal keterbatasannya. Mereka menyangkal luka-luka pribadi dan berusaha menghindar. Mereka menolak kebenaran eksistensi yang pada kenyataannya memang menyakitkan. Mereka berusaha mengatasi keadaan terluka itu dengan mengalihkannya kepada kebahagiaan-kebahagiaan semu jangka pendek agar bisa tampil tersenyum.
Mereka lupa kalau luka yang terobati dengan baik sebenarnya dapat menjadi modal empiris untuk diaplikasikan kepada orang-orang terluka lain yang mereka layani. Mereka bisa menyembuhkan orang lain dengan modal kesembuhan yang sudah mereka alami lebih dulu. Pelayan yang ingin menjadikan lukanya sebagain sumber kesembuhan bagi orang lain dituntut untuk melihat hubungan antara hidup pribadi dan hidup profesionalnya.
Langkah paling dini tentu dimulai dari dirinya sendiri dengan membereskan luka-luka pribadinya. Membereskan bukan berarti menghilangkan luka-luka itu sampai tak terlihat melainkan mengobatinya sehingga rasa perih tak terasa meskipun bekas luka tetap ada. Ketika terluka sebetulnya kita dihadapkan pada dua pilihan.
Kita bisa memilih untuk menjadikan luka itu sebagai alasan untuk marah, benci, frustrasi, kecewa, dendam dan menghakimi orang lain. Namun, kita juga bisa memilih untuk menjadikan keadaan luka itu sebagai kesempatan melihat dimensi lain kehidupan yang baru, lebih luas, lebih bermakna dan penuh pengharapan. Pilihan pertama memelihara kita di bawah awan mendung sebagai korban yang tak berdaya melawan.
Pilihan kedua membuka jalan baru revolusioner, membuka jalan bagaimana kita yang tak bisa mengubah masa lalu dapat berkreasi di masa depan. Jika kita mengambil pilihan kedua maka menerima dan mengampuni adalah konsekuensinya. Kita menerima luka itu sebagai pengalaman hidup manusiawi yang memang harus dialami. Kita juga mengampuni siapa saja yang berperah menyabit jiwa kita sampai berdarah. Pilihan kedua memang tak mudah, akan tetapi jika kita tak bisa mengubah orang lain sekurang-kurangnya diri kitalah yang diubah. Pilihan kedua akan memampukan kita menjadi hidup dengan berdiri tegak meskipun perban melilit dimana-mana.
Keadaan diri yang sembuh akan memungkinkan pelayan untuk mentransformasi hidup pribadinya ke hidup profesional. Dia memiliki modal kesembuhan untuk membawa sesamanya kepada kesembuhan pula. Dia berdiri di samping orang yang dilayaninya sebagai sesama manusia yang sama-sama mengalami luka dan derita sebagai kebenaran manusiawi.
Maka, tak ada satupun pelayan yang dapat menyembunyikan luka-lukanya. Dia menjadi tuan rumah yang menerima orang lain sebagai tamunya. Dia menerima tamu-tamu itu dengan hospitalitas yakni sikap sebagai tuan rumah yang baik dan ramah sehingga membuat tamu kerasan. Dia menaruh konsentrasi untuk mendengarkan tamu-tamunya, menarik diri dan menempatkan tamu-tamu itu sebagai subjek atas diri mereka masing-masing.