Lihat ke Halaman Asli

(Bukan) Menempatkan Akal dan Hati; Sekadar “Celotehan”

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

(bukan) menempatkan akal dan hati; sekadar “celotehan”

Oleh: Deni HZR

Jika anda bertemu seseorang yang baru dikenal atau baru tinggal di komunitas atau tempat tinggal yang baru, apakah yang terbayang atau kesan apa yang Anda tinggalkan terhadap lingkungan baru tersebut?. Bisa dipastikan Anda akan langsung memberi kesan-kesan tertentu pada lingkungan baru ini. Misalnya,si A orangnya terlalu ingin diperhatikan orang lain atau si B orangnya terlalu tertutup. Biasanya kesan pertama ini akan melekat dalam waktu-waktu berikutnya. Padahal jika kita pikir-pikir “penghakiman” tersebut masih terlalu dini. Artinya, kita terlalu terburu-buru menyifati lingkungan baru tersebut tanpa memahami dan mengenal lebih dekat.

Stereotif. Benar, kesan itu bermula daristereotif; sifat, fisik, budaya, dan sikap. Stereotif memang semacam entitas yang melekat pada diri individu atau masyarakat yang tak terpisahkan. Tingkatan stereotif ini yang sering dijadikan tolak ukur dalam mendefinisikan pergaulan.

Pertanyaannya adalah apakah salah kita terburu-buru menilai individu atau kelompok ketika pertama kali bertemu?

Ini bukan persoalan salah dan tak. Tapi etiskah jika kita bersikap demikian sementara kita belum mengenal lebih dekat?. Dan yang tak kalah penting adakah dampak terhadap kita, khususnya untuk keberlangsungan pergaulan, jika penilaian stereotif ini dikedepankan dalam pergaulan?.

Susah dan gampang untuk menjawabnya. Susah karena memberi kesan-kesan tertentu pada individu atau masyarakat adalah gejala alami sifat manusia. Ia tak bisa dihindari. Terlebih-lebih manusia memang makhluk sosial yang tentunya gemar memberikan penilaian baik langsung atau pun tidak. Gampang tersebab ini persoalan keseharian kita.

Seperti sudah dijelaskan di atas penilaian melalui kesan tertentu adalah sifat alami manusia. Kapan pun dan dimanapun kita tak bisa lepas dari apa yang dinamakan pemberian kesan. Karena dorongan akal lah yang menyebabkan demikian yang kemudian memengaruhi pikiran kita untuk memberikan penilaian. Di sini peran akal begitu dominan dalam memengaruhi tindakan kita.

Lalu, dimana rasa atau tepatnya hati?Apa ia sengaja absen dari kehidupan kita?. Tentu saja tidak. Hati tetap setia menemani akal. Ia tak pernah lari dari diri kita. Hanya saja dalam kasus ini ia tak bisa berkutat melawan kedigdayaan akal. Ia kerap ditindas, tak pernah dimintai pendapatnya oleh sang akal. Karena di sini sang akal merasa superioritas. kepongahan akal lah akar dari pemberian kesan-kesan tadi.

Patut dicatat, kepongahan akal dalam mendeterminasi sikap bisa berakibat kepada kesombongan terhadap sesama, superioritas atas yang lain, merasa paling benar sendiri, tak punya sikap empati pada sesama. Sudah banyak kasus dari kepongahan akal ini. Kemajuan teknologi yang melupakan dampak lingkungan, melecehkan orang yang tidak sejalan dengan kita misalnya.

Para filosof semisal Heidegger sangat keras menentang “kemaha posisian” akal ini dalam hidup manusia. Ia tak menampik bahwa kesombongan-kesombongan dunia adalah peran akal yang dianggap sentral dalam bertindak dan memutuskan sesuatu.

Maka untuk keluar dari jalan “penilaian yang terburu-buru”, ia menawarkan sebuah jalan dengan tema filsafatnya, phenomenology. Di sini tak akan diuraikan lebih detil dan subtil pemikiran filsafat Heideger. Namun sederhananya filsafat phenomenology ini adalah menunggu dahulu serta menunda objek-objek atau subjek-subjek yang nampak didepan kita tanpa langsung “menghakimi” segera sebelum mereka menampakan dirinya.

Sekilas tampak sulit untuk mempraktekan filsafat (phenomenology) Heidegger karena memang dominasi akal dalam menilai ini sudah menjadi kebiasaan dan pembiasaan. Maka untuk menguatkan perangkat yang diajukan Heidegger adalah dengan mengikut sertakan hati dalam menilai objek atau subjek. Karena hati adalah entitas utama yang menggerakan diri kita untuk sampai pada tingkat mengenal lebih dekat, memahami, dan juga memaafkan sesama

Hati seharusnya diberikan ruang yang proporsinya sama dengan akal. Tak boleh kurang, juga tak boleh lebih. Jika kurang, akal akan merasa paling “diatas”, jika lebih bisa-bisa hati bertindak salah kaprah. Harus ada balancing diantara kedua-duanya agar kita tak terperosok ke dalam jurang  ketidakberadaban. Ngeri sekali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline