Lihat ke Halaman Asli

Mitos-mitos Dunia Pendidikan Kita

Diperbarui: 27 Maret 2019   23:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pembahasan tentang dunia pendidikan di Indonesia memang selalu hangat. Apalagi di tengah deraan penegasan kembali istilah "Negara Berkembang" melalui lelucon yang sedang viral di berbagai media sosial. Video dan meme bertema -- negara berkembang -- selain sebagai hiburan juga dapat dimaksudkan sebagai sindirian (baca:kritik) atas sumber daya manusia Indonesia yang selalu berlabel "kualitas rendah". 

Suka tidak suka sumber daya manusia Indonesia adalah produk dari dunia pendidikan yang serba absurd dan politis. Entah dari peraturan, kurikulum, model, maupun proses pembelajaranya yang selalu satu paket dengan berbagai arah perkembanganya yang absurd. 

Sebab, segala daya upaya perbaikan diarahkan untuk mengejar ketertinggalan level kualitas pendidikan di negara-negara maju. Sedangkan  faktanya di negara-negara maju pendidikannya juga semakin mutakhir. 

Model kejar-kejaran seperti ini tentu adalah upaya yang tidak masuk akal. Belum lagi segala sistem dan infrastruktur penunjang dunia pendidikan kita yang makin menegaskan diri seolah hanya sebagai agen utama penyedia tenaga kerja bagi dunia industri. 

Praktis, pendidikan kita menghamba pada kapitalisme. Tetapi sudah menjadi karakter orang Indonesia yang selalu optimis, bahwa kita hakulyakin bisa mengejar kemajuan bahkan mengalahkan mereka. Maka perlulah kita menilik dunia pendidikan kita sebagai keniscayaan kebutuhan yang begitu penting bagi keberlangsungan kehidupan masa kini.

Dunia pendidikan di Indonesia amatlah rumit, sehingga seolah-olah tidak pernah ada jawaban yang tepat sempurna lagi menyeluruh atas segala persoalan di dalamnya. Hal ini bisa dilihat dari akar permasalahan utama pendidikan di Indonesia secara makro yaitu kebijakan pendidikan, infrastruktur fisik, kemajemukan masyarakat, dan wilayah yang sangat luas yang berkarakter kepulauan. 

Kajian-kajian mengenai sejarah, proses, kebijakan, sistem, arah kemajuan, hingga program-program teknis terkait pelaksanaan dan infrastruktur terkini tentang pemajuan pendidikan di Indonesia sudah cukup kokoh.  

Tersisalah suatu upaya kritik-reflektif sebagai kemungkinan partisipasi pembenahannya pada celah yang jarang diminati, sebab identik kekirian. 

Bisa dimaklumi pasalnya trauma sejarah belumlah sepenuhnya hilang pada masyarakat kita (terkait larangan ideologi komunis yang lazim disebut ideologi kiri). Maka pembahasan ini dapat di mulai dari rekonstruksi sebuah kesadaran yang paling sederhana. Kita ambil saja istilah program wajib belajar. 

Perlu kita pahami kembali bahwa dalam istilah "progam wajib belajar" secara umum, berarti hanya mewajibkan kita untuk belajar bukan sekolah. Sekolah tidak wajib. Sekolah dan belajar  adalah dua hal yang berbeda tetapi menyatu. Sekolah bisa kita batasi pengertiannya sebagai tempat atau lembaga dengan segenap struktur, sistem, identitas, dan infrastrukturnya untuk belajar dan mengajar. 

Sedangkan belajar, adalah proses yang berisi upaya-upaya memperoleh kepandaian dan keterampilan guna penghidupan. Faktanya, masyarakat umum memiliki anggapan bahwa pendidikan adalah sekolah. Sekolah formal yang terdiri dari tingkat dasar hingga universitas padahal hanyalah satu dari sekian banyak wahana proses belajar yang dapat dijangkau oleh kita.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline