Lihat ke Halaman Asli

Deny Arjuniadi

Manusia Biasa

Hanya Cerita Gas Elpiji

Diperbarui: 18 Juni 2015   00:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Dalam tulisan ini saya tidak membahas yang berat-berat, bukan analisis atau bukan penelitian yang saya lakukan. Saya menulis tulisan yang ringan , berdasarkan pengalaman, opini dan yang saya rasakan saja mengenai Elpiji 12Kg.

Kalau kita mendengar kata Elpiji atau LPG pasti kita langsung mengkaitkan dengan Kompor Gas. Kompor gas tidak akan berarti apa-apa tanpa benda satu ini yaitu Elpiji.

Dahulu yang menggunakan kompor gas sangat sedikit, hanya segilintir orang yang menggunakannya sebab kompor gas masih belum terjangkau untuk masyarakat yang mempunyai penghasilan pas-pasan terlebih lagi  harus rutin membeli bahan bakar yaitu Elpiji yang harganya terbilangnya cukup mahal daripada minyak tanah (dahulu). Sehingga penggunaan kompor gas dan gas Elpiji identik dengan orang-orang kaya dan berada. Masyarakat kecil yang berpenghasilan pas-pasan tidak dapat menjangkau untuk membeli kompor gas dan Elpiji,  jadi mereka untuk memenuhi kebutuhannya dalam memasak menggunakan kompor minyak tanah dan bahan bakar minyak tanah yang terjangkau bagi mereka.

Kondisi ini pun juga dialami oleh Ibu saya. Dahulu Ibu saya sangat anti dengan yang namanya kompor gas apalagi dengan benda berbentuk tabung itu yaitu Elpiji. Selain karena harga yang mahal, Ibu saya sangat asing dan takut dengan benda berbentuk tabung itu. Sebenarnya dulu ayah saya sering menawarkan kepada Ibu saya untuk membeli kompor gas dan mengganti kompor minyak tanahnya. Namun sepertinya Ibu saya tidak tertarik dengan kompor gas dengan alasan takut menggunakannya (takut gas elpiji meledak) , resikonya lebih besar menurut Ibu saya (maklum agak kolot) dan juga yang tak kalah pentingnya adalah harga gas elpiji yang cukup mahal sehingga Ibu saya tetap setia menggunakan kompor minyak tanahnya dan selalu rutin ke warung untuk membeli minyak tanah kalau sudah habis.

Tetapi hal itu berubah ketika ada program dari pemerintah yaitu konversi minyak tanah ke gas elpiji.  Pada saat itu Pemerintah ingin mengubah masyarakat yang menggunakan kompor minyak tanah untuk beralih menggunakan kompor gas. Alasannya untuk mengurangi penggunaan bahan bakar minyak tanah sehingga dapat menghemat persediaan Minyak Tanah. Pemerintah membagikan kompor gas satu tungku beserta gas elpiji ukuran 3 Kg kepada masyarakat secara gratis dan diharapkan program ini dapat berjalan efektif sehingga masyarakat dapat secara berangsur meninggalkan penggunaan minyak tanah ke gas elpiji.

Ibu saya pun tak tertinggal mendapatkan kompor gas dan gas elpiji 3 kg secara gratis. Awalnya ibu saya ragu menggunakan dan masih berpikir dengan menggunakan kompor gas akan berbahaya daripada menggunakan minyak tanah. setiap gas elpiji telah habis, Ibu saya selalu menyuruh saya untuk menggantinya. Ibu saya sangat takut untuk menggantinya. Dari yang bermula ragu, takut-takut, dan terpaksa akhirnya lambat laun Ibu saya mulai terbiasa menggunakannya. Sekarang Ibu saya sudah menikmati menggunakan gas elpiji, bahkan Ibu saya sudah mahir mengganti gas elpiji jika sudah habis dan kalau karet pengamannya rusak Ibu saya sudah bisa mengatasinya. Kompor gas satu tungku yang diberikan secara gratis kini Ibu saya telah menggantinya dengan kompor gas yang dibelinya dengan uang sendiri yang berjumlah dua tungku. Sepertinya Ibu saya telah menyadari betapa efisien dan efektifnya memasak menggunakan gas elpiji daripada minyak tanah yang kini harganya mahal dan sulit didapatkannya.

Adanya wacana Pertamina untuk menaikan harga gas elpiji 12 kg menurut saya wajar saja. Terlebih lagi saat ini gas elpiji merupakan salah satu kebutuhan rutin yang harus dipenuhi oleh rumah tangga. Namun yang perlu diperhatikan adalah pemahaman masyarakat mengenai perbedaan Elpiji 3 kg dan Elpiji 12 Kg. Banyak masyarakat yang tidak mengetahui sasaran target pemasaran yang berbeda antara Elpiji 3kg dan 12 kg. Dari masyarakat yang kalangan kebawah tidak mengetahui sebab tidak ada nya pemberitahuan atau mungkin mereka tidak peduli mengenai urusan itu, yang mereka tahu membeli gas elpiji 3 kg karena murah sedangkan elpiji 12 kg mereka tidak mampu membeli karena mahal.

Terjadi permasalahan serius ketika kondisi ini dimanfaatkan oleh masyarakat yang tidak peduli akan peruntukan gas elpiji ini. Gas elpiji 3 kg diperuntukan bagi masyarakat kelas kebawah dan pengusaha-pengusaha kecil. Gas elpiji 3 kg merupakan LPG bersubsidi yang harganya disesuaikan agar terjangkau dengan masyarakat bawah. Elpiji 12 kg diperuntukan untuk masyarakat golongan keatas/ mampu dan pengusaha menengah keatas yang bisa juga menggunakan elpiji 50 kg. Elpiji ini merupakan non subsidi yang harganya sesuai dengan harga pasar.

Kenaikan harga elpiji 12 kg non subsidi sesungguhnya tidak terlalu mengkhawatirkan sebab harganya masih terjangkau untuk kalangan atas. Tugas Pertamina dan Pemerintah adalah mengawasi sistem penyaluran Gas Elpiji kepada masyarakat agar tepat sasaran, tidak menguntungkan masyarakat atas dan merugikan masyarakat kecil.

Menjadi perhatian melihat sikon-sikon yang mungkin terjadi dilakukan oleh masyarakat kelas atas yang masih saja mengingkan Elpiji Subsidi. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan perhatian khusus di tempat –tempat pendistribusian Gas Elpiji. Mungkin saja bisa setiap konsumen diidentifikasi masuk dalam kelas yang mana sehingga pembelian gas elpiji subsidi hanya dapat dilakukan oleh masyarakat yang tepat. Pengenalan konsumen menjadi indikator penting. Kenaikan Gas Elpiji 12 kg non subsidi tidak perlu menjadi dilemma yang berat agar pelaksanaannya dapat berjalan efektif

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline