Lihat ke Halaman Asli

Menarilah Kijangku

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Tapak bumi panas,aspal, rumput ,bebatu,kerikil dan hempasan badai serta gelombang panah panas menyeringai meluluhlantak tak hanya gendang telinga tapi rongga dada terhimpit menekan tulang punggung.

Rapuh dan tetaplah bertahan menahan selaras ihlas.

Waktu didulang mentari,disuguhi kiasan machine, betapa tak berartinya tetes keringat dan napas serta percepatan untuk keberlangsungan angin kesejukan.

Tak berartinya cinta sepenuh hati tanpa batas waktu terus memberi terus bersinergi..

Telapak kijang mendera bebatu agar tak secuilpun kerikil menyayat roda, melebarkan hamparan agar kereta berpesona emas yang dikekangkan ke punggungnya lenggang mereguk telaga, menjuntai indah meraih buah-buah pemanis ,penghilang lara...

Agar jerit tangis anak istri dihibur keramahan cinta dan perhatian perjuangan.

Menarilah kijang biarpun langkah di sepenggalahan satu tombak matahari menaik langkahmu terhambat diri..

Terlambat cinta.

Terbengkalai waktu dan lelah dkejar jagamu.

Menarilah hingga batas waktu..

Terus mencipta lompatan tak peduli napas mu telah tersengal, sementara harimau duduk mengintai menikmati darah daging dan menguras keringatmu..

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline