Lihat ke Halaman Asli

Mendung di Atas Sungai Tigris

Diperbarui: 18 Juni 2015   02:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1408609765460009184

“Quzi, ya moallem!” teriak Abbas pada pelayan. Dia telah putuskan memilih itu sebagai makan siangnya. Sempat sebelumnya ia terpikir untuk memilih seporsi masgouf, yang sangat khas Irak, karena hanya dimasak dengan ikan dari sungai Tigris, tetapi wangi kukusan daging kambing lebih menggoda seleranya.

Mat’am Saleem ini merupakan satu restoran kecil kesukaan Abbas. Restoran ini lumayan bersih, berdempetan dengan restoran dan warung makan lain juga kios souvenir dan toko buah. Semuanya berjejer dengan rapi di tepian sungai dengan air yang sungguh tenang, sehingga selalu terasa sejuk walau siang itu Baghdad berada pada posisi putaran bumi yang panas terik.

Wafa yang duduk manis di samping Abbas masih terdiam. Kepalanya menunduk. Barangkali ia menunggu tawaran dari Abbas.

“Fattoush wa maqluba, habibty?” Abbas bertanya dengan lembut sambil menggenggam tangan halus perempuan itu. Sejuta cinta dari sinar mata Abbas jelas terpancar hanya untuk perempuan di sampingnya.

Wafa mengangkat wajahnya perlahan. Ia menatap Abbas dengan tatap lembut, matanya yang indah khas perempuan Timur Tengah pun berkedip indah, lembut, itulah tanda jawabannya sebagai kata ‘ya’.

Abbas pun menambahkan satu lagi pesanannya, dengan tambahan minuman chay bi na’na, teh manis panas dengan daun mint.

Kini sambil menanti pesanan datang, Abbas hanya bisa merenung, memikirkan Wafa, yang duduk di sampingnya, belum juga mau mengucapkan sepatah kata pun padanya, sejak malam tadi. Entahlah, barangkali perempuan itu masih sedih, setelah semalam Abbas menyampaikan rencana kepulangannya ke Indonesia.

Baghdad memang sungguh tidak bersahabat bagi Abbas dalam situasi perang seperti ini. Pemerintah Indonesia melalui Kedutaan Besar di Amman, Yordania, sudah memperingatkannya agar segera meninggalkan kota yang sudah mulai hancur akibat perang.

Beasiswa untuknya pun sudah lama berhenti sejak akhir tahun lalu, jadi ia pun bingung memikirkan bagaimana nasib kuliahnya kelak di Baghdad University yang sesungguhnya baru akan berakhir dua semester ke depan.

Hidup di Baghdad bagi orang asing dan Sunni seperti Abbas, memang bukan hal yang mudah. Ancaman selalu datang tiap hari. Pertikaian Syi’ah-Sunni sudah membuncah bagai air bah yang tak tertahankan. Semakin hari posisi kaum Sunni semakin terdesak oleh dominasi baru kaum Syi’ah dan terjebak dalam euphoria kemenangan atas jatuhnya Saddam Hussein oleh tangan Pasukan Multinasional. Perang saudara dan campur tangan asing di negeri Seribu Satu Malam itu nampaknya akan menghancurkan masa depan Abbas, kuliahnya dan bahkan mengancam perjalanan cintanya dengan Wafa yang amat dicintainya itu.

Pesanan telah terhidang. Abbas dan perempuan itu terus makan walau diam tanpa kata, tak seperti biasanya mereka akan makan disertai perbincangan kecil yang penuh kemesraan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline