Lihat ke Halaman Asli

"Yasmine", Quo Vadis Film Brunei?

Diperbarui: 18 Juni 2015   01:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14102255451347538102

let yourself flow...

when you put water in a cup, it becomes a cup

when you put water in a bottle, it becomes the bottle

when you put water in your hands, it becomes the hands!

be like water!

Jadilah seperti air!  Kibasan kipas Suhu Tong Lung (Dwi Sasono) menyentak kesadaran Yasmine (Liyana Yus) bahwa kecakapan bersilat memerlukan filosofi. Silat bisa menjadi sumber kekuatan, lahirnya cinta juga persahabatan, dan bahkan musabab terjadinya sebuah bencana. Tergantung bagaimana kita menggunakan tangan dan kaki kita dalam mengolah harmoni antara daya dan rasa ketika jurus-jurus silat dimainkan.

Menurut saya itulah bagian terbaik dari film Yasmine selain dialog-dialog pemain yang ringan dengan muatan lokal yang bisa menjadi lucu, seperi ketika Ayah Fahri (Reza Rahadian) menawarkan nasi Katok yang khas Brunei kepada Yasmine yang sedang merasa sebal karena dilarang bermain silat.  Ada juga gambar-gambar cantik Masjid Sultan Omar Ali Saifuddin, kehidupan di Kampung Ayer dan kecantikan rumah panggung milik Haji Boy, Ketua Kampong Kupang yang dijadikan sebagai setting lokasi. Yasmie adalah sebagian gambaran nyata masyarakat Brunei. Pemilihan properti mobil Mini Cooper milik Yasmin yang berasal dari keluarga sederhana untuk transportasi sehari-sehari ke sekolah adalah gambaran otentik kehidupan social di Brunei.

Yasmine adalah film yang bercerita tentang seorang remaja putri yang  berminat terhadap olah raga silat karena daya tarik personal yang dipancarkan oleh Adi,  cowok keren dan pesilat sohor yang sedang bersekolah di London. Dalam mendalami silat, Yasmine dihadapkan pada konflik diri antara mempertahankan persahabatan dengan Ali dan Nadia atau bersaing dengan Dewi, yang juga lawan tangguh silat,  dalam mengejar cinta Adi. Cerita dibumbui dengan kenyataan bahwa sebenarnya Yasmine memiliki bakat silat dari ayahnya yang merahasiakan keahliannya bertahun-tahun akibat peristiwa kelam dalam pertarungan silat di masa lalu. Alasan inilah yang membuat ayah Yasmine melarang dengan keras putrinya untuk belajar silat.

Film Yasmine adalah proyek uji coba film Brunei berskala internasional, sehingga situasi pemutaran perdananya digambarkan sebagai renaisance perfilman Brunei Darussalam setelah mati suri selama 50 tahun. Mengambil latar cerita dengan tema olah raga beladiri silat, Yasmine sebenarnya tidak sepenuhnya upaya coba-coba. Ada unsur keyakinan film Yasmine akan sukses karena mengambil tema cerita yang sangat typikal. Seperti juga dilakukan ketika cerita Cinderella diadopsi dalam film Pretty Women (1990). Pilihan ramuan cerita olah raga bela diri dan percintaan selalu mengundang banyak penonton. Itu pasti disadari penuh oleh tim film Yasmine. The Karate Kid II (1984) yang mengorbitkan nama Ralph Macchio dan mendiang  Pat Morita juga sekaligus mengantarkan lagu thema film (OST) Glory of Love menduduki puncak lagu radio di seluruh dunia, menjadi contoh film yang mampu menarik jumlah penonton yang banyak, sehingga perlu dibuat sequel The Karate Kid (2010) dengan Jaden Smith dab Jackie Chan sebagai pemeran.

Sebagai film perdana, tentu pilihan ramuan cerita silat dan cinta, meskipun berkesan typikal, tentulah sangat cerdik dan diperhitungkan dengan baik oleh para pembuatnya dalam upaya mendulang kepopuleran dan memenuhi hasrat pasar. Pengerjaan produksi yang melibatkan begitu banyak pemain asing dan awak produksi film dari negara-negara serantau, yaitu Indonesia, Malaysia dan bahkan Hongkong dan Australia juga memperhitungkan faktor tersebut. Tentulah dengan begitu banyak muatan asing dalam produksi film, khsususnya tokoh dibalik penceritaan Yasmine, yaitu penulis skenario Salman Aristo (Ayat-ayat Cinta, Laskar Pelangi, Negeri 5 Menara), keberadaan film Yasmine bisa diperdebatkan jika ingin disebut sebagai sebuah film lokal made in Brunei Darussalam. Membandingkan Yasmin dengan produksi film sebelumnya “Ada Apa Dengan Rina“ (2013)  yang “hanya” melibatkan insan local creative, orang bisa saling berdebat tentang film mana yang sebenarnya bisa disebut sebagai sebuah film lokal.

Tapi sudahlah, keberanian sineas Brunei seperti Siti Komaluddin, sutradara film Yasmine untuk membuat film sendiri adalah tantangan besar dan prestasi sendiri. Tidak mudah membuat film di Brunei, selain karena keterbatasan sumber daya manusia, hambatan budaya juga menjadi tantangan tersendiri. Untuk itu, lahirnya Yasmin disambut dengan sangat baik. Terbukti bagi publik Brunei film Yasmine dapat menjadi pengobat rindu. Sejak pemutaran perdana pada minggu terakhir bulan Agustus 2014, Yasmine masih bertengger di layar-kayar cinepleks Brunei. Cerita renyah, pemeran cantik, muatan lokal diangkat dengan porsi yang pas untuk menjadi daya dorong bagi penonton untuk berbondong-bondong memenuhi setidaknya 4 cinepleks yang ada di Bandar Seri Begawan dan 1 cinepleks di Distrik Kuala Belait. Di Indonesia sendiri, kata seorang teman yang dekat dengan proses produksinya, Yasmine diputar di 80 layar diboskop.  Bandingkan dengan film Laskar Pelangi (2008) besutan sutradara Riri Riza yang pemutaran perdananya di 100 layar bioskop.

Sineas lokal Brunei yang memahami diperlukannya daya dobrak untuk memulihkan film lokal itu, cukup cerdas ketika memilih silat sebagai latar tema cerita. Untuk pefilman modern Indonesia, pengambilan tema silat juga pernah dipilih sebagai ramuan jaminan mutu ketika The Raid: Redemption (2011) menjadi puncak masuknya pencak silat Indonesia di jagat perfilman dunia. Pilihan yang rasional karena silat adalah olah raga beladiri yang memiliki akar budaya di negara-negara kawasan Asia Tenggara. Yang justru menarik sekarang adalah tantangan bagi sineas Brunei untuk mencari tema baru bagi produksi film berikutnya.

Bagi yang belum memahami karateristik masyarakat Brunei mungkin ilustrasi ini bisa mewakili gambaran kecilnya. Masarakat Brunei sangat terbuka dengan perkembangan dunia, melalui teknologi informasi khususnya,  dan sekaligus berhati-hati terhadap kebebasan berekspresi. Jangan heran kalau smarthone dan gadget terbaru selalu terlihat ditenteng oleh segala lapisan umur, dari anak-anak, remaja  bahkan orang dewasa. Pemerintah memberikan sarana komunikasi internet dengan fasilitas yang sangat memadai. Meskipun dengan ongkos cukup mahal, kecepatan internet di Brunei sangat memadai dengan 5Mbps.  Mungkin mereka juga harus berterima kasih kepada Menteri Perhubungan Brunei yang belum meniru Pak Tifatul Sembiring, sehingga segala situs haram lihat masih bisa diakses. Namun di sini lain, Brunei bisa bersikap sangat konservatif.

Pertunjukan seni panggung, seperti teater akan sulit ditemui di Brunei.  Jika anda ingin mencoba mempertunjukan seni tari dan bahkan sekedar fashion show, maka serangkaian prosedur penapisah (censorship) harus dilalui supaya bisa lolos tampil. Ada kehati-hatian di sini terhadap pengaruh budaya asing yang tidak senonoh atau bertentangan dengan tatasusila serta peradaban Brunei. Hal sama terjadi juga untuk sebuah produksi film. Lembaga sensor berperan dalam menjaga keseimbangan antara ide kreatif dengan nilai-nilai moral. Jika di Indonesia kita punya Badan Sensor Film (BSF)  yang dulu dan sampai saat ini mungkin masih dikenal sebagai lambaga tukang gunting "bagian-bagian bagus" dalam cerita film, maka di Brunei juga ada lembaga serupa yang disebut Panel Penapisan Filem dan Hiburan Orang Ramai, yang terdiri dari perwakilan beberapa lembaga terkait dibawah koordinasi kementerian Dalam Negeri Brunei. Lagi-lagi berdasarkan keterangan yang bisa dipercaya, naskah Yamine lolos dengan baik, dan bagian film Yamine yang dipotong oleh Panel Penapisan hanya pada bagian ketika Fahri bersalaman dengan guru mengaji Yasmine, karena mereka bukan mahrom.

Jadi tantangan terbesar bagi sineas muda Brunei adalah memanfaatkan akses kepada informasi dunia yang demikian luas terbuka untuk mengeplorasi seluas-luasnya ide-ide kreatif yang mampu menciptakan tema cerita film yang baik. Panel Penapisan mungkin bisa menjadi penghambat ide-ide kreatif itu, utamanya setelah Hukum Syariah Jenayah mulai diberlakukan secara efektif tahun 2014. Namun di sisi lain Pemerintah Brunei saat ini semakin mendorong anak-anak muda untuk berkiprah dalam ekonomi kreatif, termasuk film, sehingga membuka peluang industri film lokal dapat berkembang lebih baik lagi.  Sintesa antara ide tema liar yang lahir dari kreatifitas sineas Brunei dan pengawalan moral dari Panel Penapisan serta dukungan pemerintah diharapkan dapat mengasilkan film-film Brunei berikutnya yang lebih menarik.

Waktu yang akan membuktikan apakah setelah Yasmine industri film Brunei akan menjadi martir seperti dialog dalam kisah biblical antara Saint Petrus yang bertanya kepada Yesus yang baru saja bangkit dari kematian:  “Quo vadis?” ,….dan dijawab oleh Yesus:"Romam vado iterum crucifigi"….Saya akan pergi ke Roma untuk disalib lagi….

(Kampong Sungai Akar, 8 September 2014)

[caption id="attachment_341753" align="aligncenter" width="300" caption="Rumah Yasmin di Kampong Kupang, Brunei  (Dok. Pribadi)"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline