Lihat ke Halaman Asli

Rasa Memiliki

Diperbarui: 15 Februari 2023   20:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber foto: pexels.com

Dalam budaya organisasi, rasa memiliki akan membuat seluruh anggota organisasi bekerja dengan penuh kerelaan dan antusiasme. Penjabaran rasa memiliki ke dalam dua indikator tadi: kerelaan dan antusiasme- pada akhirnya melahirkan iklim dan suasana kerja yang kolegial. Lahir pula rasa kebersamaan yang membuat organisasi bertumbuh secara alami ke arah kemajuan.

Para pegawai bekerja dengan kesadaran bahwa setiap usaha mereka untuk memajukan perusahaan pada dasarnya adalah ikhtiar untuk menyejahterakan diri mereka sendiri. Mereka sudi untuk to go the extra miles demi kemajuan kolektif.

Akan tetapi jika yang mereka rasakan adalah aturan yang mengekang di sana-sini, kritik berlebihan dibanding apresiasi, tuntutan yang tinggi tanpa imbal balik yang memadai --yang terjadi adalah keengganan, kelebaman, dan metamorfosa tubuh manusianya menjadi robot.

Pimpinan tertinggi yang 'turun gunung' sampai ke urusan-urusan teknis mengakibatkan ketidakteraturan dalam  pola dan budaya kerja yang sehat. Pimpinan menjajah ruang-ruang kebebasan lewat 'micro-managing' yaitu mengelola urusan sampai yang sekecil-kecilnya. Sehingga, pegawai merasa tidak lebih sebagai bidak catur yang siap tersisih dari papan permainan.

Perlakuan sebagai bidak catur itu membuat pegawai kehilangan rasa memiliki (sebaliknya ia merasa 'dimiliki'). Menurut pimpinan yang berkuasa, sang pegawai mutlak harus mau didikte karena sudah diberi sejumlah upah.

Kerap terjadi, ketidakmampuan penyelenggara organisasi untuk memberi bayaran yang layak (misalnya sesuai upah minimum) dibarengi tuntutan agar pegawai punya 'rasa memiliki' terhadap organisasi/perusahaan. Yaitu 'rasa memiliki' yang indikatornya kerelaan (keikhlasan) dan semangat kerja. Sesuatu yang mengherankan, karena naturalnya sense itu tidak ada sejak awal. Perekrut tidak mencantumkan syarat 'ikhlas karena Allah dalam bekerja' dalam iklan lowongan kerjanya.

Pemilik organisasi bisa jadi adalah orang-orang yang tulus ikhlas. Namun, para pegawai dan pekerja datang lebih belakangan ketimbang pemilik organisasi. Para pegawai ini mencari sumber nafkah yang direpresentasikan dalam besaran upah. Sudah pasti (secara keumuman) urusan upah adalah yang pertama dalam pertimbangan mereka. Mereka melamar (semata-mata dan atau terutama) untuk bekerja. Rasa memiliki kelak tumbuh jika memang ada usaha yang sungguh-sungguh dari perusahaan untuk menumbuhkannya. Misalnya dengan mengembangkan semangat kerja kemitraan atau iklim kerja partisipatif. Jika kulturnya feodal, mustahil 'rasa memiliki' itu tumbuh.

Apalagi jika sejak awal penghargaan itu sangat kecil dan calon pegawai diminta memaklumi. Calon pegawai yang didesak kebutuhan akhirnya menerima akad itu dan menjalani pekerjaan itu 'semampunya' dan 'apa adanya'. Mereka datang ke tempat kerja mengisi presensi, menunaikan kewajiban yang paling minimal, kemudian pulang.

Jika sejak awal penghargaan dan reward sudah sangat minim bagaimana mereka bisa diharapkan to go the extra miles

Dalam kultur organisasi di mana dominasi pimpinan terlalu kuat bisa dipastikan secara umum apresiasi terhadap pegawai sangatlah rendah. Apresiasi diberikan lebih berdasarkan asas manfaat (kalkulasi manipulatif). Apakah personil ini secara politik memberi keuntungan terhadap keberlanjutan organisasi dan secara khusus terhadap posisi tawar pimpinan? 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline