Pentingnya 'kesadaran sejarah' bagi generasi muda merupakan keniscayaan dalam konteks pendidikan. Nilai penting 'sejarah' sejak lama disadari Pemerintah sehingga menjadi salah satu mata pelajaran wajib dalam Kurikulum Merdeka.
Sejarah adalah 'alat pengendali pikiran' yang sering dimanipulasi pihak penguasa. Maka, kehadiran sejarawan kritis sangat dibutuhkan untuk memberi alternatif-alternatif narasi sejarah yang belakangan ini sering didistorsi (secara terang-terangan dan ekstrem pula).
Sejarah adalah subjek yang paling membutuhkan literasi, semangat membaca. Jika semangat membaca sudah luntur bisa dipastikan kesadaran sejarah juga tumpul.
Hilangnya minat terhadap pelajaran sejarah berakibat pada tidak tumbuhnya kesadaran diri sebagai anggota komunitas kebangsaan. Sentimen kebangsaan dan identitas nasional tidak tumbuh. Ujungnya, tidak ada kecemburuan bila bangsanya ternyata dalam keadaan terpuruk di pelbagai aspek kehidupan. Yang tumbuh adalah individualisme yang lepas dari konteks sosial-historis.
Di masa Orde Baru, pelajaran sejarah dinamai sebagai Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) agar para pelajar mengetahui bahwa bangsa Indonesia eksis berkat adanya 'perjuangan' para pendiri bangsa dan bukannya sebagai sesuatu yang jatuh begitu saja dari langit.
Namun sejarah tidak disajikan sebagai sesuatu yang menarik di dalam kelas. Guru sejarah sering tidak masuk, dan kalau masuk pun hanya memberi seabrek tugas. Tidak ada upaya yang berarti untuk menjadikan sejarah sebagai entertainmen yang mendidik, subjek yang memantik nalar kritis, dan pewarisan pengalaman yang memenuhi dahaga serta rasa ingin tahu anak akan kisah-kisah masa lalu.
Selaku salah satu disiplin dari ilmu-ilmu sosial humaniora, sejarah sebenarnya memberi keleluasaan anak untuk berimajinasi dan membangun empati, dalam kerangka realitas. Imajinasi dan empati kemanusiaan dalam sejarah pasti lebih terbatas dibanding imajinasi dan jiwa manusia dalam sastra. Sastra membuat orang lebih memahami kehidupan lewat fiksi, sedangkan sejarah melahirkan kearifan manusiawi dalam konteks ruang dan waktu. Sastra dan sejarah sebenarnya sama-sama menghibur.
Lantas, nasib mata pelajaran sejarah kini berada di tangan para guru sejarah. Guru sejarah seharusnya adalah seorang pencerita yang arif bijaksana. Kepalanya dipenuhi oleh tema-tema kesejarahan yang relevan dengan konteks kehidupan masa kini, dengan isu-isu aktual yang ada di hadapan atau dialami langsung oleh peserta didik. Bukan hanya terampil bercerita, akan tetapi juga lihai memantik kepedulian dan nalar kritis peserta didik, karena tokh tema-tema besar kehidupan manusia, kapan pun dan di mana pun adalah mirip-mirip belaka.
Sejarah bisa dibagikan kepada peserta didik lewat pendekatan humanistik, lewat human interests yang menggelitik rasa ingin tahu. Dengan anekdot dan fakta yang membuat audiens merespon dengan apresiasi dan kekaguman. Generasi yang dibesarkan dengan budaya menonton (audio visual) mungkin bisa dibujuk untuk menikmati video-video dokumenter atau film-film bertema sejarah. Sayangnya, yang belakangan disebut dibuat untuk kepentingan komersial, distorsi juga sedikit banyak mewarnai perkisahannya.
Sejarah harus dijelmakan sebagai sesuatu yang nyata dan akrab: hadir dan terbukti. Apalagi dari tahun ke tahun para pelaku sejarah nasional makin banyak yang wafat. Sekarang yang masih bertahan adalah Angkatan 1966. Dalam satu atau dua dekade lagi mereka akan meninggal dunia dan pelaku sejarah yang hidup adalah mereka yang terlibat dalam era reformasi. Dan, bisa dipastikan makin jauh generasi dari tahun permulaan berdiri bangsa dan negaranya makin tipis pula kesadaran sejarahnya.