"I'm wonderstruck, blushing all the way home.."
Pertama kali saya mendengar kata "wonderstruck" adalah lewat lagu berjudul "Enchanted" yang ditulis dan dinyanyikan oleh Taylor Swift. Lagu ini menceritakan rasa kagum si gadis blonde pada seseorang (disebut-sebut sebagai ekspresi kekaguman Taylor pada Adam Young a.k.a Owl City). Wonderstruck sendiri memiliki banyak makna, seperti kekaguman, terpesona, rasa penasaran yang menggebu atau kejutan yang menakjubkan.
Kembali ke acara Nobar KOMiK Community yang dihelat di Cinemaxx Plaza Semanggi, Jumat (26/1/2018), kali ini giliran film bergenre drama misteri berjudul "Wonderstruck" yang ditonton bersama teman-teman Kompasianer pecinta film. Bukan suatu kebetulan saya akhirnya dapat memaknai lagu Taylor Swift, atau menemukan benang merah dengan film tersebut.
***
Diadaptasi dari novel karangan Brian Selznick, Wonderstruck boleh dikatakan hampir meng-copy-paste semua plot dalam novel ke dalam layar lebar. Bedanya, Todd Haynes sebagai sutradara berusaha mempermudah penonton dalam menyimak dua alur cerita yang berjalan beriringan, tak seperti novelnya dimana pembaca awalnya akan kebingungan mencerna alur ceritanya.
Berlatar tahun 1977, Ben yang tinggal bersama bibinya mengalami kecelakaan yang membuatnya tuli. Awal mula kecelakaan tersebut adalah ketika Ben berusaha mencaritahu keberadaan ayahnya yang tak pernah diceritakan oleh sang ibu. Ben yang mulai menemukan titik terang tentang sosok ayah itu akhirnya kabur dari Minnesota menuju New York.
Di sisi lain, Rose si gadis tuna rungu dan tuna wicara yang tinggal di New Jersey pada tahun 1927 mengidolakan sosok Lillian Mayhew, aktris terkenal pada masanya. Kekesalan pada sikap ayahnya yang otoriter membuat Rose pergi ke New York untuk bertemu sosok idolanya tersebut.
Lalu, bagaimana kelanjutan kisah Ben dan Rose? Akankah mereka menemukan apa yang selama ini mereka cari di New York? Dan apakah perjalanan, atau lebih tepatnya pelarian tersebut, memberikan mereka jawaban?
***
Dengan dua alur cerita berjarak 50 tahun dan dinarasikan secara bersamaan, Haynes berusaha memberikan detil untuk membedakan keduanya. Misalnya gambar hitam putih kala menceritakan kisah Rose, atau latar retro tahun 70-an lengkap dengan segala fashion, gaya rambut, musik dan pernak-perniknya dalam perjalanan hidup Ben.
Film ini berusaha menangkap makna tentang kebisuan dan kesunyian. Misalnya saat adegan dimana Rose menonton film 'bisu' yang diperankan oleh Lillian Mayhew serta adegan-adegan yang mengingatkan kita akan film bisu yang hanya berisikan alunan musik dan mimik serta bahasa tubuh.