Lihat ke Halaman Asli

Melawan Lupa, Merawat Akal Sehat!

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"The definition of an extreme authoritarian is one who is willing blindly to assume that government accusations are true without any evidence presented or opportunity to contest those accusations."

(Glenn Greenwald, Jurnalis Politik Amerika)


Hari ini, tepatnya 16 tahun yang silam, terjadi peristiwa penembakkan yang menyebabkan empat orang mahasiswa Universitas Trisakti meninggal dunia. Keempat orang itu, antara lain adalah Elang Mulya, Hafidin Royan, Hendriawan Sie, dan Hery Hartanto. Penembakkan ini terjadi di tengah-tengah arus demonstrasi mahasiswa yang ketika itu menuntut untuk mundurnya Soeharto dari kursi kepresidenan.

Pelaku penembakkan yang menjadi penyebab kematian dari keempat mahasiswa Trisakti tersebut hingga hari ini masih menjadi misteri. Peluru tajam yang menerjang tubuh menjadi bukti bahwa penembakkan yang terjadi kepada mereka bukanlah bermaksud untuk melumpuhkan melainkan memang ditujukan untuk merebut nyawa mereka. Selain itu, bekas luka tembak yang ditemukan oleh dokter forensik ketika itu yaitu Abdul Mun’iem Idris, terdapat pada bagian-bagian tubuh vital, hal ini semakin menguatkan indikasi bahwa tembakan yang ditujukan kepada empat orang mahasiswa tersebut memang bertujuan untuk membunuh mereka.

Pasca kejadian itu, kemudian muncul berbagai asumsi tentang siapa yang menjadi pelaku pembunuhan keempat orang mahasiswa Trisakti tersebut. Kapolda Metro Jaya ketika itu yaitu Hamami Nata, merasa bahwa dia sudah memerintahkan kepada anak buahnya untuk tidak menggunakan peluru tajam untuk menghadapi pengunjuk rasa, cukup hanya dengan peluru karet dan peluru hampa sehingga tidak mungkin pelakunya berasal dari kepolisian. Asumsi kemudian berpindah ke instansi ABRI, namun jenderal-jenderal ABRI tersebut hingga hari ini masih belum bisa tersentuh dan tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya.

Tragedi 12 Mei 1998 sebenarnya merupakan puncak gunung es dari serangkaian kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan pada rezim orde baru. Di era kepemimpinan Jenderal Soeharto ini, telah terjadi begitu banyak kasus kejahatan terhadap kemanusiaan, mulai dari penghilangan paksa atau penculikan sampai pembunuhan yang dilakukan oleh oknum aparat pemerintah.

Mungkin, rekan-rekan masih ingat tentang bagaimana anggota-anggota Partai Komunis Indonesia yang dibantai habis paska Gerakan 1 Oktober 1965 atau bagaimana orang-orang Indonesia yang dianggap sebagai preman dibunuh secara misterius oleh Petrus. Padahal, hak untuk hidup merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat diderogasikan kecuali memang terdapat putusan pengadilan yang memerintahkannya, itu pun terjadi apabila individu tersebut merampas hak asasi orang lain terlebih dahulu.

Peringatan Tragedi 12 Mei yang dilakukan setiap tahunnya sejak tahun 1998 ini, seharusnya menjadi momentum bagi kita untuk melawan lupa dan merawat akal sehat. Melawan lupa, atas kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di masa lampau dan merawat akal sehat, bahwa rezim otoritarian dan anasir-anasirnya tidak boleh lagi memimpin di negeri ini!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline