Lihat ke Halaman Asli

Dissenting Opinion: Karpet Baru Demokrasi Indonesia

Diperbarui: 24 April 2024   13:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

                Pasca putusan Mahkamah Konstitusi pada senin 22 April lalu, isu publik kemudian digeser pada dissenting opinion yang dilakukan oleh hakim MK. Debat tidak lagi pada sengketa pemilu yang berisi data kecurangan, saksi-saksi, dan kepentingan politik penguasa. Debat telah bergeser pada mekanisme dissenting opinion. Perdebatan itupun bahkan dimulai ketika beberapa pengacara dari masing-masing calon menyampaikan dihadapan wartawan. Ada yang berpendapat bahwa dissenting opinion meskipun itu ada, tidak akan mempengaruhi keputusan sengketa pemilu saat ini. Disisi lain juga ada yang berpendapat bahwa, dissenting opinion baru pertama kali dalam sejarah demokrasi Indonesia. Tentu ketiga Hakim yang melakukan dissenting opinion mendapat apresiasi dari kuasa hukum pemohon. Misalkan kubu 03, Mahfud sendiri menyampaikan dissenting opinion tidak boleh ada, karena biasanya hakim berembuk karena ini menyangkut jabatan orang, maka ini harus sama. Lebih jauh lagi, Mahfud mengungkapkan bahwa dissenting opinion ini akan menjadi catatan sejarah (mkri.id).

                Dalam pengumuman resminya, Mk mengungkapkan bahwa dari lima hakim, tiga diantaranya menyatakan memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion. Meskipun demikian, keputusan final tetap menolak permohonan sengketa tersebut (cnbcindonesia.com). Dissenting opinion pada prinsipnya adalah ekspresi kebebasan tertinggi seorang hakim. Artinya meskipun keputusan pendapat hakim berbeda dalam suatu perkara bukan berarti bahwa hakim tersebut sedang dalam kondisi terpecah belah. Bukan berarti bahwa hakim yang melakukan dissenting opinion ataupu tidak, sedang melakukan rekayasa hukum. Dissenting opinion sebenarnya ketidaksetujuan terhadap keputusan mayoritas hakim dalam majelis hakim yang mengambil keputusan dalam persidangan (mahkamahagung.go.id).

                Berdasarakan konstitusi tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945 dalam BAB I Pasal 1 ayat (3) dijelaskan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum, dengan demikian bahawa hukum berfungsi sebagai alat pengatur setiap perilaku warga negaranya untuk mencapai tujuan negara, salah satunya melalui lembaga peradilan dan para penegak hukumnya. Roscoe Pound pernah berujar tentang Law As A Toll Of Social Engineering. Bagaimana hukum berfungsi untuk menata kepentingan yang dalam masyarakat sebagai contoh salah satu penyebab perbedaan pendapat. Kepentingan itu harus ditata sedemikian rupa agar tercapai keseimbangan yang proposional sehingga dapat mendekati maksimum kepuasan masyarakat (sungguminasa.co.id). Dalam kaitannya dengan menghadapi perbedaan adanya pendapat atau pandangan, hal ini mewajibkan hakim untuk menarik garis pada setiap sudut kepentingan sehingga dicapai titik keseimbangan yang proposional.

                Kebebasan hakim bisa saja mutlak namun relatif. Meski tidak mengikat, dissenting opinion sejatinya memuat wawasan hakim dari pengalaman di bidang praktik dan teori. Dissenting opinion dapat diartikan juga menjadi salah satu mekanisme yang digunakan untuk memberikan kesempatan kepada hakim untuk menerapkan ilmunya secara optimal. Dissenting opinion juga dapat dijadikan sebagai aternatif rujukan bagi para hakim dalam melakukan reformasi hukum. Hal ini diperlukan agar dissenting opinion menjadi narasi hukm alternatif yang dapat memperkaya dan merangsang perkembangan hukum di masa depan. Dissenting opinion merupakan produk penafsiran hakim yang keberadaanya menjamin suatu putusan muncul dari perdebatan sudut pandang terhadap masalah tertentu. Meski tidak mempunyai kekuatan hukum, dissenting opinion dapat dijadikan acuan alternatif oleh hakim ketika mempertimbangkan perkara yang relatif serupa.

Saling "gigit" politik dan hukum

                Terdapat banyak persepsi dari adanya dissenting opinion. Hipotesis akhirnya dilontarkan oleh berbagai kalangan. Tidak hanya kuasa hukum dari pihak yang berperkara, tetapi sampai juga pada analisa dari berbagai pengamat. Tentu ada tendensi menarik dari fakta bahwa ada hakim yang dissenting opinion dalam sengketa pemilu. Pada konteks ini, hakim memilki kebebebasan untuk menentukan sikap supremasi hukumnya. Tetapi meskipun begitu, MK tetap tidak bisa menahan gempuran argumen dari berbagai kalangan. Pada titik ini, demokrasi kita sedang diuji. Penggunaan mekanisme dissenting opinion pertama kali dalam sejarah pemilu di Indonesia. Tetapi tidak berarti bahwa pemilu-pemilu yang akan datang dissenting opinion tidak dipergunakan lagi. Mengingat bahwa fakta politik kita terus bergeser dan berubah dari setiap rezim. Justru pergeseran politik akan menyempurnakan instrumen demokrasi yang sedang berjalan ini.

                Kepentingan politik dan supremasi hukum selalu bertolak belakang dalam berbagai karakter kekuasaan. Disatu sisi kita menginginkan tegak lurusnya kekuatan hukum agak tidak memberikan rasa ketidakadilan kepada mata publik. Tetapi disatu sisi, kekuatan politik praktis begitu masif untuk terus menggoda agar hukum bisa dibengkokkan. Dissenting opinion adalah salah satu bentuk bahwa terjadi perdebatan cukup alot antara kepentingan politik, supremasi hukum, dan kepuasan publik. Instrumen -- instrumen ini terus mewarnai perhelatan sengketa pilpres 2024. Mungkin masuk akal juga jika dissenting opinion perlu ditambah dalam sengketa pilpres kali ini. Agar publik bisa menangkap bahwa kontradiksi antara politik dan hukum bisa akan berdampak kepada jalan panjang demokrasi kita.

                Saling senggol menjadi buah bibir dalam diskursus masyarakat kita. Semua itu sangat dipengaruhi oleh manuver-manuver politik ditingkat elite. Manuver inilah yang berdampak pada adu taji keputusan hakim. Putusan dengan hasil 5:3 bisa ditafsirkan dalam berbagai bentuk. Bisa karena angka ini adalah buah dari demokrasi kita yang semakin matang ataukah 5:3 adalah bagian dari kemunduran demokrasi yang telah kita perjuangkan selama ini. Semua itu tergantung kepada elite dalam menyusun strategi politiknya kedepan.  Apakah tetap konsisten dijalur oposisi ataukah akan tergiur dengan tawaran-tawaran masuk kabinet? Kita lihat saja nanti, mana yang percaya bahwa demokrasi bisa dijunjung tidak harus dari kursi pemerintah. Justru demokrasi bisa dinikmati dalam wilayah-wilayah kritis dalam meneropong kebijakan pemerintah yang tidak pro kepada rakyat.

                Lembaran baru demokrasi pasca dissenting opinion membawa Indonesia pada dialektika yang cukup menarik. Hal ini terjadi karena MK adalah pemutus akhir dari sengketa pilpres. Artinya bahwa dengan keputusan dan dinamikan di MK, publik paham bahwa perdebatan tidak hanya terjadi ketika masing-masing pendukung saling pegang kendali dalam mempengaruhi publik. Tetapi jauh dari pada itu, dalam level yang netral pun seperti MK, perdebatan tetap terjadi. Ini menunjukan bahwa dialektika kita dalam rangka menyempurnakan demokrasi tetap masih pada jalurnya. Meskipun disana-sini masih terjadi saling "gigit" antara masing-masing kepentingan.

Bagi pihak-pihak pro demokrasi, perjuangan belum usai. Tahun berganti tahun dan kebutuhan politik tahun ini akan berbeda dengan tahun-tahun yang akan datang. Demokrasi hari ini bisa saja akan berbeda di 5 atau 10 tahun kedepan. Kesiapan kita untuk menemukan irama-irama baru demokrasi yang perlu diperhatikan. Publik tidak hanya sekedar mengiyakan pilihan politiknya, tetapi lebih dari pada itu, sikap kritis harus tetap tumbuh meskipun pihak yang didukung telah mencapai pucuk kekuasaan. Mental untuk melakukan kritik adalah bagian penting dari tumbuh suburnya demokrasi sebuah bangsa.

               

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline