Isu penggunaan hak angket mulai menguat lagi. Pemerintah akhirnya ikut arus gelombang hak angket. Melalui komunikasi politik, pemerintah perlahan "mencopot" ketua partai untuk masuk di istana. Bagi Jokowi dan kabinetnya, arus penggunaan hak angket perlu untuk dibendung. Mekipun dihadapan wartawan, hak angket tetaplah hak politik. Perbedaan data hasil Pemilu dari TPS akhirnya sampai dimeja kerja anggota dewan. Ironi Pemilu 2024 akan mengulang konflik Pilpres tahun 2019 lalu. Saling rebut dukungan di ruang parleman mulai diriuhkan lagi. Tidak hanya internal parlemen, para paslon ternyata masih sibuk jaga asah agar tetap mendapat dukungan.
Diketahui paslon 01 dan 03 yang getol menyuarakan penggunaan Hak Angket. Kali ini lawannya tidak main-main. Pemerintah dengan indeks kepuasan publik 75,8% % ditahun 2023 (Kompas.com) dan tertinggi sepanjang sejarah. Tetapi tidak menyurutkan semangat partai pendukung Anis-Cak Imin dan Ganjar-Mahfud untuk bertempur di senayan. PDIP siap pisah ranjang setelah sepuluh tahun bersama Jokowi. Senayan masih milik PDIP karena kepemilikan kursi paling banyak. Jokowi tentu tetap "putar otak" agar Presiden berikut bisa dilantik. Gelombang penggunaan hak angket adalah getah dari polemik Mahkamah Konstitusi sebelum Pemilu 2024 terjadi. Jalan protes akhirnya ditempuh melalui ruang kerja anggota parlemen. Rute memilih hak angket DPR adalah opsi untuk menghambat Prabowo-Gilbran masuk istana Oktober nanti.
Grasak-grusuk hasil Pemilu dan suara mayor kubu No 1 dan No 3 memberikan perhatian khusus bagi Pemerintah. Tidak tanggung-tanggung AHY akhinya masuk istana. Padahal sebelumnya adalah pihak penantang pemerintah. Pelantikan AHY merupakan serangan balik Pemerintah untuk menahan kemenangan penggunaan hak angket anggota dewan. Demokrat tentu akan menyetir kadernya di parlemen agar pro-kepada pemerintah. Pasalnya SBY sendiri telah turun gunung dan bergerak militan untuk memenangkan Prabowo-Gilbran. Konkritnya bahwa keluarga Cikeas akan satu suara bersama Jokowi.
Aduh taji anggota parlemen
Berdasarkan Pemilu 2019, kekuatan terkuat masih milik PDIP dengan 128 kursi. Disusul posisi kedua Golkar 85 Kursi, Gerindara 78 kursi serta partai-partai lain. Tetapi pada Pilpres 2024 karena komposisi berubah, maka PDIP akan membangun koalisi lagi. Pasalnya partai pengusung Ganjar-mahfud seperti PDIP, PPP, Hanura dan Perindo tidak semua mendapat kursi empuk parlemen. Partai PDIP dan PPP yang sempat mendapat kursi. Sedangkan Hanura dan Perindo tidak memilki kursi dewan. Artinya PDIP butuh koalisi untuk meloloskan kampanye penggunaan hak angket. Targetnya adalah partai-partai pengusung Anis-Cak Imin. Tidak heran karena kepentingannya sama, sehingga negosiasi bisa berjalan lebih mulus. Sedangkan untuk negosiasi bersama partai pengusung Prabowo-Gilbran akan berakhir dijalan buntuh.
Partai pengusung Anis-Cak Imin adalah Nasdem, PKB, dan PKS. Ketiga partai tersebut memiliki kursi di dalam parlemen. Secara hitung-hitungan dapat membantu PDIP untuk melakukan penggunaan hak angket. Setelah ditotal gabungan kursi PDIP, PKB, PKS, dan PPP maka hak angket siap didukung oleh 314 kursi.. Sedangkan jika menghitung kursi Pemerintah melalui representasi partai pengusung Prabowo-Gilbran maka terdapat 261 kursi. Jika menghitung kursi partai pendukung pemerintah yang terwakilkan oleh partai-partai pengusung Prabowo-Gilbran, maka terdapat 261 kursi. Berdasarkan kalkulasi tersebut, penggunaan hak angket bisa terjadi. Bahkan menurut UU N0. 17 Tahun 2014, hak angket sudah bisa diusulkan paling sedikit 25 orang anggota DPR atau lebih dari satu fraksi. Artinya politik penggunaan hak angket bisa menjadi serangan fajar bagi pemerintah.
Kalah kalkulasi disenayan membuat Jokowi cepat-cepat menarik ketua-ketua partai untuk berkoalisi. Strategi ini dilakukan agar Prabowo-Gilbran jangan dihambat masuk istana. Pertemuan Jokowi bersama Surya Paloh pasca Pemilu adalah buktinya. Jika pertemuan ini menguntungkan Jokowi, maka perolehan suara pendukung hak angket akan mandek karena Nasdem mulai merapat bersama pemerintah. Segala kemungkinan bisa terjadi bagi pemerintah, partai dan politisi. Bahkan bisa saja kader PDIP tidak mendukung penggunaan hak angket. Asumsi ini cukup beralasan mengingat Pemilu 2024 Ganjar-Mahfud kalah telak. Sedangkan suara elektoral PDIP masih tertinggi. Artinya ada prasangka bahwa sebagain besar kader PDIP tidak bekerja maksimal untuk kemengan Ganjar-Mahfud. Padahal dalam beberapa prediksi sebelum Pilpres, Ganjar-Mahfud adalah saingan terkuat dari Prabowo-Gilbran. Sebab kekuatan PDIP masih sangat dominan dalam perhelatan politik Nasional.
Pasang Badan Partai untuk NKRI
Strategi politik Jokowi memang diluar prediksi. Lawan bisa jadi kawan hanya dengan beberapa pertemuan. Partai pendukung Prabowo-Gilbran pasti pasang badan mencuri koalisi dari partai -- partai pengusung Anis-Cak Imin dan Ganjar-Mahfud. Kekuatan mesin partai akan dipaksa lebih kerja ekstra, mengingat data real count yang menguntungkan Prabowo-Gilbran. Pemerintah beserta reputasi politiknya terpaksa turun gunung untuk melakukan lobi politik agar penggunaan hak angket dapat tertunda. Polemik hak angket bisa menjadi ruang luka apa bila tetap berlangsung. Jika penggunaan hak angket tetap dilakukan, maka rentang waktu penyelidikan bisa cukup lama. Bahkan melampaui waktu pelantikan di Oktober nanti yang juga masa akhir dari Presiden. Seandainya di bulan Oktober belum ada Presiden resmi yang sah, maka negara ini sedang berada di ambang ketidakpastian. Negara sedang mengalami Vacum of Power. Ketidakpastian dan posisi lemah inilah yang akan dimanfaatkan pihak luar untuk mengintervensi Indonesia.
Terdapat pertaruhan besar jika Vacum of Power terjadi, yaitu keselamatan 278 juta jiwa warga negara. Kecurangan pemilu di level akar rumput tidak hanya dimainkan oleh pemenang. Pihak yang kalah pun melakukan kontribusi terhadap kecurangan. Setiap perhelatan pemilu, sengketa selalu terjadi. Pilpres 2019 pun yang merupakan perhelatan paling sengit dengan dua paslon, kecurangan tetap terjadi. Ujung dari penyelesaian Pemilu tetap diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Pasalnya berdasarkan pasal 24C UUD NRI 1945 tertulis bahwa Mk memiliki kewenangan mengadili perselisihan hasil pemilu, dalam hal ini Pilpres, pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya final dan mengikat (Kompas.com).
Ketidakpercayaan kepada mekanisme MK membuat bola panas saat ini berada di tangan parlemen. Politisi senayan akan kurang tidur karena akan bergumul dengan berbagai kepentingan. Kepentingan untuk melayani penguasa, melayani partai, atau melayani keselamatan 278 juta penduduk Indonesia. Apapun perselisihan yang terjadi, jangan jadikan kepala warga negara sebagai taruhan politik praktis para elite. Keselamatan bangsa jauh lebih penting dan tinggi dibandingkan kepuasan politik semata. Kepastian hukum agar sengketa Pemilu dapat segera berakhir tetap berada ditangan MK. Kita berharap bahwa sebelum bulan Oktober keputusan dan kepastian hukum dapat dihargai oleh setiap elite. Agar negara ini dapat selamat dari perang saudara akibat kerakusan politikus. Rakyat tetap kawal proses pemilu sampai keputusan akhir. Sebagai bangsa yang akan menjadi besar, kedewasaan politik diukur dengan mampu menerima kekurangan diri dan mampu mengakui kehebatan orang lain. Terkadang sangat ironis dimana elite merebut kekuasaan dengan berbagai cara, sedangkan disisi lain rakyat hanya berharap bisa makan hari ini.