Ada awal, ada akhir. Setiap akhir tentu tidak benar-benar berakhir, mungkin itu sebuah awal baru. Begitulah bumi mempermainkan isinya. Seolah-olah peradaban seperti menyaksikan teater dalam gedung ploretar. Miris dan menegangkan. Kisahnya sulit ditebak.
Pemainpun didatangkan dari berbagai suku bangsa dengan berbagai bahasa dan budaya. Semua ketidakaturan itu menggemah dalam satu panggung teater kehidupan. Dan kita memberikan tepuk tangan berdiri, sambil meneteskan air mata karena cerita itu ada disekitar kehidupan manusia. Mengapa kita menangisi tragedi, bukankah tiap hari adalah tragedi bagi pencari keadilan?. Sehingga air mata akan habis dan diganti dengan tatapan kosong kepada kekuasaan yang tak kunjung memberi cahaya keadilan. Padahal kitamembayar mahal untuk menyaksikan teater kehidupan. Bahkan tak makanpun tak apa, asal hasrat menikmati teater terbayar. Begitulah rantai ketidaksempurnaan sebagai manusia.
Bagi sebagian kita, membuka mata pagi hari adalah melihat tragedi. Ada makna yang hilang. Hidup sekedar rutinitas dan hanya tanggung jawab mencari nafkah. Apakah sekedar membesarkan perut, membesarkan pengaruh, atau membesarkan kepala. Kira-kira sebatas itu dan tidak melampaui apa-apa. Kenikmatan berakhir di lobang kloset dengan sepuntung rokok. Tatapan hanya tertuju kepada wajah caleg dan sebuah tulisan dibagian atas, "siram air yang banyak". Apa yang ingin diharapakan dari berfilsafat di WC umum?.
Paling hanya sikap buru-buru karena di gedor dari luar, sebab antrian sudah menumpuk. Viktor Emil Frank tahun 1959 menuliskan sebuah buku berjudul Mans Search for Meaning. Bagi Frank, setiap penderitaan tentu memiliki makna. Persoalannya adalah bagaimana kita mencari makna dari setiap pergumulan yang dihadapi. Berdasar pada langkah Frank, mungkin berpikir ditengah tekanan gedoran pintu WC bisa dimaknai sebagai ambisi besar. Ambisi itu adalah sesegera meluapkan kenikmatan yang terus bergejolak di perut. Anehnya siklus ini terus terjadi sebagai satu mekanisme tubuh. Kita hanya menikmati dan mematuhi "suruhan" sistem. Kalau bandel, konsekuensinya tidak main-main.
Terkadang, konsensus yang kita bangun adalah konsensus ilusi. Ilusi dalam bentuk janji, modal, senyum, ramah, baik, dan segala tuntutan sosiologi antrologis hanya tipuan untuk menertipkan sikap. Bahkan tulisan ini sebenarnya hanya ilusi agar pembaca bersikap kritis. Disisi lain juga terdapat konsensus yang disepakati sepihak tanpa perlu ada perdebatan. Justru perdebatan hanya buang-buang waktu. Hanya bentuk sikap egois untuk diakui eksistensinya sebagai sebuah pribadi yang utuh.
Demokrasi hanyalah energi sia-sia yang dipakai untuk memperdaya orang lemah dan mempermulus jalan kapitalisme. Keterwakilan itu termuat dalam setiap konsensus sikap politik, ekonomi, bahkan kebudayaan kita. Konsensus bahkan terkadang berubah sebagai kejahatan mayoritas yang selalu tajam menekan perbedaan. Jika konsensus lahir dari perbedaan, itu hanyalah ilusi untuk menutupi maksud gelap dari oligarki. Konsensus ilusi ini sering terjadi dalam sikap kita terhadap berbagai hal. Kita terlalu banyak bercita-cita, sehingga lingkungan tempat kita berada hanyalah batuh loncatan.
Ayah menginginkan anaknya harus menjadi seperti ini dan itu. Anak bahkan bingung ingin menjadi apa, karena tidak memilki preferensi. Justru keterbatasan itu dimanipulatif untuk menghasilkan kesepakatan. Padahal itu hanya ambisi kultural. Sebab, konsensus seperti itu tidak bisa dibantahkan karena ada tembok kultural. Tidak hanya dikeluarga, lingkungan kerja pun demikian. Ada aturan, ada kebijakan, dan
ada otoritas yang hidup dari konsensus ilusi. Eksistensi kita terbatas hanya pada ruang-ruang refleksi dan tidak memilki kemampuan menangkal sistem akut yang dibesarkan oleh keserahkahan. Ambisi besar itu menekan kebebasan dan meninabobokan kreatifitas. Hasilnya hanya rutinitas dan menikmati gaji di akhir bulan untuk membeli kebutuhan hidup. Kekejaman ini telah dimulai dari sebuah konsensus ilusi di atas kertas dengan jaminan-jaminan politis dan tanpa kedalaman. Padahal hidup tidak sekedar menulis di atas kertas.
Dan cerita tidak hanya nongkrong di warung kopi sambil memaksa teman mengerti keadaan kita. Ada sesuatu yang sangat bermakna, tapi kita lupa caranya. Sebab tidak ada ruang untuk sedikit memeluk penderitaan dan menghargai perbedaan. Tentu bukan kejahatan diskusi awal kita, melainkan kebaikan. Kita perlu percaya kebaikan datang dari penderitaan, bukan kejahatan.
Bukankah, Tuhan saja percaya kepada kita, bahkan Dia tahu bahwa kita akan berbuat dosa. Dosa awal kita bukan membunuh atau mencuri, tetapi Cuma tidak taat perintah: jangan makan buah di tengah taman Eden itu. Ketidaktaatan itu justru melahirkan peradaban kita hari ini. Itu bukan kejahatan. Itu mungkin hanya dosa. Dan dosa bisa dimaafkan oleh Tuhan. Lalu apakah kita tidak bisa memaafkan jika konsensus ilusi itu kita kritik?. Apakah sekejam itu sikap kita kepada sesama yang hari-hari bergumul dengan keterbatasannya?.
Keteraturan memang dibutuhkan untuk memangkas watak "kebinatangan". Justru karena ada akal, keteraturan itu diciptakan. Tetapi tidak mengekploitasi satu dengan lain. Tidak dengan memanfaatkan jabatan untuk memperkuat argumen. Tetapi mencari makna tersembunyi yang memang sengaja peradaban ini simpan. Seperti kata Frank hidup selalu ada makna. Tidak selalu kosong. Tidak juga hanya konsensus yang memaksa kita mengikuti rutinitas. Ada proses mendalam menjadi manusia.