Studi kosmologi atau sains memaparkan kalau asal penciptaan terjadi ketika ledakan besar (big Bang) di alam semesta. Teori ini di populerkan oleh George Lemaitre, seorang biarawan Katolik Roma Belgia. Dalam sudut pandang Big Bang, alam semesta sangat padat dan panas yang terus -- menerus mengembang sampai saat ini. Galaksi sebagai hasil dari ledakan besar, terus mengalami proses menjauhkan diri dari pusat ledakan. Setiap galaksi, bahkan galaksi dari planet bumi, juga mengalami proses penjauhan dari inti ledakan. Beberapa kosmolog yang konsen pada studi teori Big Bang, percaya bahwa galaksi ini akan
mencapai batas terjauhnya dari inti ledakan. Ketika berhasil sampai pada hitungan terjauh, galaksi -- galaksi ini akan tertarik kembali menuju inti ledakan. Sehingga dalam beberapa studi Big Bang, akhir dari galaksi -- galaksi dapat diprediksi. Akhir itu, termasuk planet bumi, akan terjadi ketika galaksi -- galaksi kembali ke inti ledakan. Pertanyaan awal mungkin terletak pada apakah ledakan besar ini terjadi oleh partikel kekuasaan tertentu atau sebagai hasil dari logika alam semsta yang sulit dicernah oleh bahasa manusia?.
Koespartono dalam bukunya tentang "Kekuasaan" beranggapan bahwa, kekuasaan tampaknya tidak dapat ada tanpa kekuasaan tandingan2. Kekuasan selalu mengalai proses dialektika secara kontinu. Dalam proses itu, kekuasaan selalu mengalami peningkatan kualitas. Kekuasaan dalam kacamata awam, selalu memasuki argumentasi "duel" fisik. Ketika ada rumusan regulasi yang tidak memihak masyarakat, dengan tidak sengaja kekuasan "di kambing hitamkan". Awam sering menafsirkan kekuasaan yang di jalankan penguasa, menyimpang dari nalar publik. Padahal, kekuasan bukan hanya soal ada menang dan kalah. Kekuasaan selalu menempatkan dirinya sebagai konsep yang menawarkan proses dialektika kepada publik. Soal menang dan kalah bisa saja sebab dari penyatuan diri kepada partai tertentu. Atau afiliasi dengan komunitas dan organisasi tertentu. Yang dalam proses "dialektika", mengalami kegagapan argumentasi. Logika dialektika yang biasa dikenal dalam tesis -- antitesis -- sintesis selalu mengandung unsur 'kuasa' didalamnya. Dialektika tidak akan berjalan tanpa ada dialektika lain yang berlawanan. Atau, contract social tidak akan terjadi bila pada waktu itu masyarakat tidak dikekang oleh anarkisme. Kontrak sosial hadir sebagai landasan dialektika dimana masyarakat ingin bersama membentuk negara. Sehingga terbentuklah kekuasaan negara sebagai hasil kontrak sosial dan kedaulatan individu yang menghasilkan masyarakat.
Partikel kekuasaan selalu mempengaruhi setiap keputusan yang di ambil oleh manusia. Dalam kasus ini, moral bukan prioritas. Moral diletakan sedikit berjarak dengan kekuasaan. Machiaveli pada tahun 1513 sudah memaparkannya dalam bukunya yang singkat, The Prince. Buku itu menuliskan kenyataan -- kenyataan sebenarnya dari kekuasaan. Kenyataan itu sangat jauh dari anggapan moralitas awam dan sangat dikritik dari beberapa komunitas yang fasih dengan moralitas. Dalam buku The Prince seperti di kutip J. R. Hale, Machiavelli mengatakan "... Oleh karena itu jika seorang pangeran ingin memelihara pemerintahannya dia harus belajar bagaimana tidak menjadi baik dan membuat kegunaannya atau tidak menurut kebutuhan..".Koespartono, Kekuasaan, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1987). Machiavelli sudah menulis ini pada abad ke -16 di Itali waktu itu. Sampai sekarang, mungkin masih relevan dengan dinamika politik saat ini. Di mana kekuasaan ditaruh jauh dari anggapan moral tertentu. Jika mau bernegara, atau hidup dalam lingkaran politik praktis, barangkali tekanan moral harus ditanggalkan. Sebab moral bisa saja soal paradigma.
Kekuasaan memang selalu "memabukan". Jika dibandingkan dengan alam semesta, kekuasaan juga dipenuhi teka - teki. Setiap entitas, melekat didalamnya unsur kekuasaan. Ada ritme curiga, rasa takut, persaingan, keunggulan, dan lainnya yang menampakan bahwa dimensi kekuasaan selalu ada. Seorang pejabat negara harus memiliki power untuk menjalankan wibawanya. Kekuatan beserta kekuasaan itu bisa didapatkan dari kewibawahan pangkat atau berdasarkan hukum positif. Atau mungkin didapatkan dari bentuk arogansi terselubung seorang atasan kepada bawahan. Jika teori big bang menjelaskan ledakan adalah unsur utama yang mengakibatkan alam semsta ada. Bisa juga dihubungkan, bahwa kekuasaan adalah sebuah "ledakan" dari jalannya gesekan dialektika masyarakat. Kekuasaan selalu terlibat dalam aktivitas publik. Posisi ini tentu tidak terlepas dari budaya yang eksis di tengah masyarakat. Melalui kebudayaan itu, kekuasan terlibat. Ada semacam gerakan pengulangan yang pada akhirnya mencapai konklusi pada kata "budaya". Beberapa tafsir menjelaskan budaya itu soal kebiasaan. Untuk mencapai kebudayaan itu, sebuah kebiasaan harus terus -- menerus dilakukan dan dipertahankan selama mungkin. Di Jepang, biasa di sebut sebagai filsafat Kai Zhen. Filsafat ini sebanarnya menjelaskan, bahwa proses pengulangan dan perbaikan yang berkesinambungan suatu saat akan mencapai kunklusi. Dan itu akan menjadi kebiasaan paten yang tidak akan mudah di lepas masyarakat. Ikai Zhen. Kemudian kebiasaan itu akan membudaya. Atau dengan bahasa yang populer di sebut sebagai kebudayaan. Ledakan besar atau big bang, bisa disebut sebagai proses membudaya. Yang pada akhirnya memunculkan galaksi dan planet -- planet. Sama halnya dengan memahami ideologi. Ideologi akan mudah terserap jika dilakukan secara real dan berulang menjadi kebiasaan. Proses penyerapan ideologi atau isme tertentu harus sampai pada tahap perilaku (behavior). Budaya itu adalah perilaku. Perilaku yang terus -- menerus diulang, memiliki kecenderungan bergerak dibawah kesadaran manusia. Kekuasaan kosmologi barangkali sangat mempengaruhi narasi kecil kekuasaan dibawahnya. Alam semesta memiliki ungkapan kekuasaanya yang dalam kesadaran tertentu, mempengaruhi proses hidup manusia di bumi. Narasi kekuasaan hasil dari dialektika kosmologi mencapai konklusinya pada proses survival manusia. Kemampuan alamiah itu, mungkin diciptakan oleh kosmos Kasadaran ini kemudian dikritik sebagai sebuah pelanggaran dan kekeliruan alam semesta. Dalam beberapa argumentasi dipandang sebagai gagalnya proses kosmologi. Padahal, alam semesta sudah sepakat akan kesadarannya dan secara proposional menentukan narasi -- narasi kecil itu. Bayangkan saja, proses mendinginkan bumi pasca big bang itu, membutuhkan jutaan tahun hujan secara terus menerus. Sampai pada 70% isi dari planet bumi adalah air. Bahkan air yang dikelola atau diminum saat ini, merupakan unsur air pada hujan pertama di bumi jutaan tahun lalu. Atau dengan nalar sederhana, air yang diminum manusia purba saat itu, sama persis dengan air saat ini. Proses -- proses pengulangan air ini bisa dikatakan sebagai destilasi. Proses ini sudah dikenal pada masa Aristoteles, dimana air tersebut dilakukan penyulingan untuk mendapat kadar air bersih yang dapat di minum. Begitupun dengan siklus air di bumi. Jumlahnya selalu konstan. Digunakan dari generasi -- kegenerasi dengan unsur air yang sama. Selalu mengalami proses destilasi dengan siklusnya sendiri dan konstan. Fenomena banjir, air laut yang makin naik ke darat, hujan yang makin tidak dapat diprediksi. Mungkin sebagai kekeliruan manusia menghargai eksitensi dan nalar alam. Alam akhirnya menghasilkan dialektikanya sendiri dan nalar kekuasaanya untuk menangkis ketamakan manusia. Kekuasaan manusia kemudian dipertemukan dengan kekuasaan alam. Gesekan ini sudah menjadi hukum konstan sebagai konklusi dari bentuk bumi yang bulat. Dalam tradisi cina, ada yin dan yan yang disatukan oleh lingkaran. Begitu juga level peradaban manusia yang selalu diisi oleh gesekan kekuasaan. Ada semacam kontradiksi yang memang sengaja dipelihara untuk melanjutkan peradaban.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H