Mas, besok kalo kamu udah punya anak istri, tetaplah menggunakan kromo inggil meskipun kepada anak istrimu terlebih saat hatimu panas.
[caption caption="ilustrasi: Ibuku"][/caption]
Piwelinge Ibuk semasa aku kecil tiba-tiba saja menyeruak dalam ingatan. Ntah efek kangenku yang terpendam atau malah beliau yang mengirimkan sinyal kerinduan melalui jiwa keibuannya pada anak lanang ndablek satu ini. Waktu itu aku hanya mengangguk sebagai tanda mengiyakan, tanpa tanya. Sami'na wa atho'na, begitu kira-kira temanku akhi membahasakannya.
******
Tepat pukul 12 malam ini aku terbangun dari pembaringan, merasakan pegal di punggung setelah 3 jam mencoba memejamkan mata namun gagal. Masih terngiang pesan yang keluar dari mulut Ibuk sambil tangannya mengelus lembut kepalaku waktu itu.
Kenapa aku harus berkrama inggil kepada istri? Dia tidak lebih tua dariku. Terlebih kepada anak-anakku. Menurut pakem seharusnya aku menggunakan krama madya kepada istri karena sepantaran, baik umur maupun 'kasta'. Atau malah ngoko saja agar lebih akrab dan nyaman untuk bersendagurau. Istri adalah garwo, sigaraning nyowo (belahan jiwa) tentu sebanding denganku, sesisihan. Soal umur juga dia berada di bawahku meski cuma selisih beberapa bulan saja. Atau karena istriku kebetulan seorang putri kyai, guruku, pembimbing spiritualku? Sepertinya bukan. Waktu Ibuk berpesan demikian bahkan aku belum mengenal istriku saat ini.
******
"Ngopo-ngopo ki mbok dipikir sek bener. Ojo sak karepe dhewe (Apapun sebaiknya dipikir dulu sebelum bertindak, jangan seenak perut sendiri)", teriakku suatu ketika kepada istri entah karena apa.
Malam ini, kemarahan yang telah terluapkan muncul kembali dari alam bawah sadarku. Kejadian demi kejadian seolah diperlihatkan di depan mataku. Tanpa mencoba mengingat, tanpa memaksa untuk melupakan. Menyesal? Tentu saja. Karena ada cara yang lebih baik dari sekedar marah. Tapi apa arti menyesal, toh sejarah takkan pernah bisa dibelokkan.
******