Lihat ke Halaman Asli

Den Reza Alfian Farid

TERVERIFIKASI

Digital Marketer

5 Kata yang Sebaiknya Dihindari Saat Berbicara dengan Anak Dewasa yang Sedang Kesulitan

Diperbarui: 9 Desember 2023   08:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Photo by Henri Pham on Unsplash 

Artikel ini membahas pentingnya memilih kata-kata saat berbicara dengan anak dewasa yang sedang menghadapi kesulitan, dengan fokus pada lima frasa yang harus dihindari untuk menjaga hubungan yang sehat dan mendukung.

Membicarakan tentang bagaimana kita berkomunikasi dengan anak dewasa yang tengah berjuang dalam hidupnya merupakan topik yang vital, namun sering terabaikan. Dalam interaksi sehari-hari, terdapat kalimat-kalimat yang tampaknya biasa saja namun bisa berdampak besar pada mental dan emosi mereka. Terutama dalam konteks keluarga, di mana hubungan emosional cenderung lebih intens. Pentingnya memahami hal ini bukan hanya untuk menjaga hubungan yang sehat, tetapi juga untuk mendukung pertumbuhan dan kemandirian anak dewasa tersebut.

Sebagai permulaan, mari kita pahami dulu mengapa interaksi ini begitu penting. Anak dewasa yang sedang menghadapi kesulitan cenderung berada dalam fase transisi yang krusial. Mereka mungkin sedang berjuang dengan masalah pekerjaan, hubungan, atau tantangan pribadi lainnya. Dalam kondisi seperti ini, dukungan emosional dari keluarga, terutama orang tua, menjadi sangat berarti. Bagaimana kita berkomunikasi dengan mereka dapat mempengaruhi cara mereka melihat diri sendiri dan situasi yang dihadapi. Sehingga, pemilihan kata menjadi sangat penting.

Berikut adalah lima kata atau frase yang sebaiknya dihindari saat berbicara dengan anak dewasa yang sedang berjuang:

1. "Harusnya"
Frase ini cenderung menciptakan tekanan dan menunjukkan adanya ekspektasi tertentu. Saat orang tua menggunakan kata "harusnya", ini bisa diinterpretasikan sebagai kurangnya apresiasi atas upaya yang sudah dilakukan. Lebih jauh, kata ini dapat memunculkan perasaan gagal atau tidak cukup baik di mata orang tua. Sebagai gantinya, gunakan kata-kata yang lebih mendukung, seperti "Bagaimana kalau" atau "Mungkin bisa mencoba".

2. "Ketika aku seumuran kamu"
Menggunakan pengalaman pribadi sebagai standar bisa menjadi masalah. Setiap orang memiliki jalannya masing-masing. Frase ini bisa membuat anak merasa situasinya tidak dipahami atau diremehkan. Alih-alih membandingkan, lebih baik menawarkan empati dan mendengarkan cerita mereka. Ini akan menciptakan ruang di mana mereka merasa didukung dan dimengerti.

3. "Kamu selalu" atau "Kamu tidak pernah"
Generalisasi seperti ini sering tidak akurat dan cenderung menimbulkan defensif. Kata-kata ini juga bisa mengabaikan kemajuan atau usaha yang telah dilakukan. Cobalah untuk lebih spesifik dan objektif dalam memberikan feedback atau komentar. Fokus pada situasi atau perilaku tertentu, bukan pada pribadi anak.

4. "Jangan khawatir"
Meskipun niatnya mungkin baik, mengatakan ini bisa terasa mengecilkan perasaan mereka. Khawatir adalah respons alami terhadap situasi yang tidak pasti atau menantang. Sebagai gantinya, tanyakan apa yang membuat mereka khawatir dan dengarkan dengan seksama. Ini menunjukkan bahwa kamu mengambil perasaan mereka secara serius.

5. "Aku tahu apa yang terbaik untukmu"
Ini dapat dianggap sebagai bentuk pengecilan atau tidak percaya pada kemampuan anak untuk mengambil keputusan bagi dirinya sendiri. Meski sebagai orang tua mungkin memiliki lebih banyak pengalaman hidup, penting untuk mengakui bahwa anak dewasa memiliki hak untuk membuat keputusan mereka sendiri. Lebih baik menawarkan pandangan atau saran sebagai opsi, bukan sebagai suatu keharusan.

Menghindari kata-kata ini bukan berarti kita tidak bisa mengungkapkan kekhawatiran atau memberikan nasihat. Justru, dengan menghindari frasa-frasa tersebut, kita membuka jalan komunikasi yang lebih sehat dan efektif. Komunikasi yang baik tidak hanya tentang apa yang dikatakan, tapi bagaimana cara mengatakannya. Dalam konteks keluarga, hal ini menjadi sangat penting karena berhubungan dengan pembentukan identitas dan harga diri anak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline