Lihat ke Halaman Asli

Den Reza Alfian Farid

TERVERIFIKASI

Digital Marketer

Apakah "Positive Psychology" Solusi untuk Depresi?

Diperbarui: 28 Juni 2023   19:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Photo by Sigmund on Unsplash

Depresi merajalela, khususnya di kalangan muda. Di tengah tekanan prestasi, ekspektasi tinggi, hingga paparan media sosial, banyak dari kita mencari jalan keluar. Salah satunya adalah psikologi positif. Tapi, apakah benar psikologi positif bisa menjadi solusi untuk depresi? Yuk, kita telusuri bersama.

Kalau ditanya, "Apa obat terbaik untuk patah hati?" mungkin jawabannya bisa jadi cokelat, teman baik, atau film komedi. Tapi, kalau ditanya, "Apa obat untuk depresi?" Hmm, jawabannya nggak semudah itu. Ada yang bilang terapi, ada yang bilang obat-obatan, dan belakangan ini, banyak yang membicarakan tentang psikologi positif. Hmm, menarik. Tapi, sejauh mana psikologi positif bisa jadi obat?

Apa Itu "Positive Psychology"?

Kenapa harus berkutat dengan psikologi positif, mungkin itu yang timbul di benak. Eits, tapi tunggu dulu. Psikologi positif bukan sekadar hipster baru dalam dunia psikologi, loh. Jauh dari itu, psikologi positif ini punya pendekatan unik yang patut diperhatikan.

Alih-alih fokus pada kekurangan dan kelainan mental, seperti kebanyakan cabang psikologi lain, psikologi positif justru merangkul kekuatan dan keunggulan individu. So, kalau psikologi biasa mengejar "bagaimana caranya tidak sakit," psikologi positif bertanya, "bagaimana caranya agar lebih bahagia dan memenuhi?" Interesannya lebih ke membangun kualitas hidup yang lebih baik dan memaksimalkan potensi individu.

"Wow, seperti kunci untuk meraih kebahagiaan ya?" Tunggu dulu, tidak semudah itu, Ferguso. Psikologi positif bukanlah jalan pintas menuju nirwana, tetapi lebih sebagai alat untuk memahami diri sendiri dan menciptakan lingkungan yang mendukung kesejahteraan mental.

Mengapa Depresi Merajalela di Kalangan Muda?

Sebelum beranjak ke solusi, mari kita pahami dulu mengapa depresi merajalela, khususnya di kalangan muda. Tekanan prestasi, perubahan lingkungan, hingga paparan media sosial, kontribusi besar dalam menciptakan iklim mental yang kurang sehat.

Di satu sisi, ekspektasi dan tuntutan hidup semakin tinggi. Sementara di sisi lain, generasi muda juga terus terpapar oleh gambaran "hidup sempurna" yang ditampilkan di media sosial. Dua hal ini jadi resep sempurna untuk timbulnya depresi.

Tidak hanya itu, stigma tentang gangguan mental juga masih kuat, membuat banyak orang memilih untuk menyimpan rasa sakitnya sendiri. Kondisi ini tentu saja tidak ideal dan membutuhkan solusi jitu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline