Lihat ke Halaman Asli

Berdoa sambil Makan dan Makan sambil Berdoa ala Tung Desem Waringin

Diperbarui: 24 Juni 2015   20:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari (atau seminggu atau dua minggu, saya sudah lupa) yang lalu, secara tidak sengaja ketika menonton acara di televisi saya membuka channel TVRI dan sedang berlangsung acara yang pembicaranya Tung Desem Waringin (TDW). Sepertinya seminar tentang marketing, tetapi saya sendiri tidak begitu ingat. Audiencenya saya lihat banyak dan terdiri dari berbagai kalangan sebagaimana yang bisa dilihat dari raut wajah dan penampilan busananya.

Saya langsung tertarik pada saat itu dia menanyakan (dengan bahasa yang saya pahami sendiri) kepada audiencenya bahwa apakah ada bedanya orang yang berdoa sambil makan dan makan sambil berdoa, sama-sama sedang berdoa, juga sama-sama sedang makan, tidak ada bedanya kan? Tetapi bilamana anda ke pemuka agama, entah itu ustadz, kyai, pendeta, dan bertanya apakah saya diperbolehkan makan ketika sedang berdoa maka semuanya akan menjawab tidak boleh!! Namun akan berbeda bilamana anda bertanya ketika saya sedang makan, bolehkah saya berdoa dalam makan saya tersebut? maka semua pemuka agama tersebut akan menjawab boleh!! Semua audience yang ada segera menampakkan raut wajah yang berbinar-binar dan seakan-akan setuju sekaligus sepakat dengan apa yang disampaikan TDW.

Kesimpulannya kedua aktifitas ini dua-duanya punya kegiatan yang sama yaitu berdoa dan makan, tetapi ketika mengajukan pertanyaan mana yang didahulukan punya jawaban yang berbeda. Apa artinya? Saya mencoba memahami bahwa mungkin yang dimaksud Tung Desem Waringin adalah seorang marketing harus jeli bagaimana mengajukan pertanyaan agar tidak mendapatkan penolakan. Tapi saya terusik sekali dengan analogi tersebut, benarkah dasar logika berpikir yang digunakan TDW?

Sekarang coba kita uraikan satu-satu makna dari analogi TDW, yang pertama: berdoa sambil makan, aktifitasnya utamanya adalah berdoa, kalau kita berdoa maka kita sedang meminta sesuatu, makanya berdoa itu ada ritualnya, ada caranya, dengan tujuan dan harapan doa kita akan dikabulkan. Saya muslim, kalau saya mau berdoa, maka ada caranya, kepada siapa saya berdoa juga tidak boleh selain kepada Allah Azza Wa Jalla, bahkan berdoa pun ada saatnya dimana akan diijabah oleh Allah Azza Wa Jalla. Secara logika kalau kita sedang menundukkan diri untuk meminta sesuatu, maka kita sedang merendahkan diri kita kepada Allah Subhanallahi Wa Taala, apa logis pada saat tersebut kita lakukan sambil makan? Jelas tidak!! Tidak ada konsistensi, apakah kita sedang serius berdoa, merendahkan diri kita dengan harapan permintaan kita akan dikabulkan atau kita sedang bersyukur karena mendapatkan makanan pada saat kita kelaparan? Secara logika pemikiran sederhana saja jawabannya jelas, apalagi secara syariat.

Yang kedua: makan sambil berdoa, aktifitas utamanya adalah makan, kalau kita sedang makan, yang terjadi adalah kita sedang merasakan nikmat pemberian Allah Azza Wa Jalla Yang Maha Pengasih dan Maha Pemurah, kita tidak dalam posisi meminta, makanya yang muncul dari kita seharusnya adalah mensyukuri nikmat tersebut. Mensyukuri nikmat Allah itu bentuk fisiknya adalah menghabiskan makanan yang ada, tidak menyia-nyiakan dan membuat makanan menjadi mubadzir, makan sesuai caranya (yaitu mengikuti sunnah Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam) agar memperoleh berkah dan bentuk rohaniahnya, yaitu ada doanya yang berkaitan dengan rasa syukur kita kepada Allah Yang Maha Pengasih dan Pemurah, inipun umumnya caranya dilakukan sebelum makan dan setelah makan. Saya belum pernah membaca atau diberitahu bahwa ketika memasukkan makanan ke dalam mulut ada doanya untuk setiap suapan dan syariatnya pun tidak demikian.

Nah dari sedikit analisis tersebut dapat dilihat berdoa sambil makan dan makan sambil berdoa pada dasarnya berbeda, boleh disamakan ketika aktifitas utamanya makan, maka doa tersebut adalah wujud mensyukuri nikmat yang diberikan Allah Azza Wa Jalla kepada kita. Lantas bolehkah kita menggunakan logika ini sebagai analogi bahwa seorang marketing harus jeli menyampaikan pertanyaan agar tidak ditolak?

Ya Jelas tidak boleh... Logikanya saja salah, memahami mana yang boleh dan tidak boleh saja sudah salah, lalu kita gunakan logika-logika berdasarkan hawa nafsu dengan memutarbalikkan serangkaian kalimat dan perkataan kita sehingga seakan-akan keduanya menjadi boleh sama saja dengan kita menghilangkan unsur kesalahan dan keduanya menjadi benar. Padahal salah satu salah!!

Ini namanya mengajarkan kepada marketing untuk berbuat apa saja demi mencapai tujuan, tidak penting itu benar salah, lihat saja secara kasat mata kalau keduanya mirip-mirip maka katakan saja sama, walaupun keduanya bisa jadi berbeda sekali. Dengan demikian pada akhirnya konsumen yang “terperdaya” tetap membeli walaupun bukan membeli yang diinginkan/dibutuhkan. Ini adalah pembelajaran pembohongan besar-besaran yang dibungkus dengan kalimat yang indah-indah.

Semoga kita semua terhindar dari cara-cara yang demikian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline