Pagi itu, matahari terbit dengan kehangatan lembut di atas atap-atap SD Negeri 4 Baito, sebuah sekolah kecil di Kabupaten Konawe Selatan. Di sinilah Supriyani, seorang guru honorer yang setiap hari berjuang di ruang kelas yang penuh dengan harapan anak-anak, menjalani rutinitasnya.
Namun, tidak seperti biasanya, hari itu menjadi titik balik dalam hidupnya. Seorang murid, anak seorang polisi, mengalami cedera kecil di pahanya. Sebatang sapu ijuk menjadi saksi bisu dalam cerita yang berakhir pada jeratan hukum.
Bagi Supriyani, tidak ada yang istimewa dari kejadian itu. Baginya, menjaga disiplin adalah bagian dari mendidik. Dalam benaknya, itu bukanlah sebuah kekerasan, melainkan teguran. Teguran untuk mengingatkan seorang anak kecil bahwa ada aturan yang harus dipatuhi.
Namun, di luar dinding sekolah, cerita yang berbeda bergulir. Orang tua si anak, yang adalah seorang anggota polisi, melihat kejadian itu dengan kacamata yang berbeda. Laporan dilayangkan, dan Supriyani pun terseret dalam pusaran hukum yang tak pernah ia bayangkan.
Tuchtrecht dan Pergulatan Otoritas dalam Pendidikan
Dalam ranah hukum Indonesia, terdapat sebuah konsep yang dikenal dengan istilah Tuchtrecht, atau hak mendisiplinkan. Sebuah konsep yang mungkin terdengar asing bagi banyak orang, namun bagi para pendidik, ini adalah refleksi dari otoritas moral yang telah lama diakui. Hak ini berkembang dari hukum Belanda yang memberikan ruang bagi orang tua, wali, dan guru untuk mendidik dengan memberi disiplin, sepanjang tidak melampaui batas kewajaran.
Namun, hak mendisiplinkan ini bukanlah sesuatu yang absolut. Ia adalah sebuah otoritas yang terbentur oleh batasan hukum, terikat oleh prinsip-prinsip proporsionalitas. Di tengah perkembangan norma dan regulasi yang semakin ketat, hak ini berada di persimpangan antara kebutuhan untuk menjaga ketertiban dan tekanan untuk melindungi anak dari segala bentuk kekerasan.
Di masa lalu, putusan-putusan Mahkamah Agung memberi pengakuan terhadap hak mendisiplinkan ini sebagai alasan penghapus pidana di luar undang-undang. Putusan Nomor 1554 K/Pid/2013 menjadi salah satu tonggak penting yang menunjukkan bahwa tindakan pendisiplinan, seperti memotong rambut murid yang gondrong, masih dianggap sah selama dilakukan dalam kerangka mendidik dan tidak menimbulkan cedera fatal.
Dasar Hukum dan Kepastian di Tengah Kabut Norma
Kasus Supriyani tak lepas dari pergulatan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh seorang guru dalam mendisiplinkan muridnya. Dalam perspektif hukum pidana, tindakan yang dilakukan Supriyani dianggap sebagai penganiayaan menurut Pasal 351 KUHP, yang secara eksplisit mendefinisikan penganiayaan sebagai tindakan sengaja menyebabkan rasa sakit atau cedera pada orang lain.