[caption caption="najwa sihab (foto kompasiana.com)"][/caption]Hari ini, saya membaca dua tulisan yang menarik tentang Mata Najwa. Pertama, "Ideologi Jurnalisme Ecek-ecek Mata Najwa" ditulis oleh Munir A.S. Kedua, "Gaduh Freeport Mata Najwa Melotot" ditulis oleh Yons Ahmad. Tulisan pertama membahas ketajaman Mata Najwa yang tiba-tiba tumpul saat berhadapan dengan kasus-kasus korupsi yang melibatkan bosnya. Tulisan kedua membahas kuasa media yang direpresentasikan dalam acara Mata Najwa yang menghadirkan narasumber Ruhut Sitompul dan Fadli Zon.
Dua tulisan tersebut jelas menyuguhkan persoalan ideologi, yakni relasi superstruktur dengan substruktur atau relasi penguasa dengan yang dikuasai. Melalui tulisan ini, saya coba membahas ideologi yang terepresentasi dalam acara Mata Najwa sebagaimana yang diungkapkan oleh Munir dan Yons dalam tulisan mereka.
Menurut Karl Marx, ideologi adalah kesadaran palsu yang disebarkan oleh kelas penguasa (superstruktur) kepada kelas yang dikuasai (substruktur) untuk mempertahankan kekuasaan atau dominasinya. Louis Althusser punya pendapat yang sama tapi berbeda dengan pendahulunya itu. Bagi Althusser, ideologi adalah ketidaksadaran mendalam yang praktiknya tidak disadari. Namun, bagi Althusser, ideologi tidak hanya mungkin disebarkan oleh penguasa, tetapi ideologi juga bisa disebarkan oleh kelompok yang dikuasai. Menurut Althusser, kelompok yang tengah ditindas juga membutuhkan ideologi untuk menyatukan mereka dalam perlawanan terhadap penguasa.
Kalau pendapat Marx dan Althusser disatukan, ideologi bisa didefinisikan sebagai kesadaran palsu atau ketidaksadaran mendalam yang disebarkan baik oleh kelas dominan maupun kelas yang terdominasi dalam upayanya untuk mempertahankan kekuasaan (bagi kelas dominan) atau merebut kekuasaan (bagi kelas yang terdominasi).
Dalam kuliah umumnya di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya di Universitas Pakuan, Seno Gumira Ajidarma membahas relasi kelas dominan dan kelas yang terdominasi melalui merek rokok. Ia menyampaikan, hanya ada 3 pilihan dalam menghadapi kelas dominan: mengikuti, negosiasi, atau resistensi.
Munir mengawali tulisannya dengan paparan kehebatan Najwa yang diibaratkan koboi berita dalam mengungkap fakta-fakta tersembunyi di balik kasus korupsi. Kehebatan Najwa di paragraf pertama itu langsung dihancurkannya dalam paragraf kedua. Najwa digambarkan sebagai sosok yang loyo ketika harus berhadapan dengan kasus-kasus korupsi yang melibatkan Surya Paloh, majikannya.
Relasi Najwa dan Surya Paloh adalah relasi penguasa dengan yang dikuasai. Sebagai pemilik modal, Surya Paloh sudah barang tentu menguasai seluruh karyawannya, termasuk Najwa. Seandainya Najwa dan tim kreatifnya mau membuat episode yang membahas kasus yang melibatkan bos dan partai bosnya, sebagai pemilik modal tentu Surya Paloh dengan mudah akan melarang tayang episode itu. Namun, saya meragukan hal itu mungkin dilakukan oleh tim kreatif Mata Najwa. Suka tidak suka, kesadaran mereka telah dikonstruksi oleh pemilik modal sehingga secara otomatis mereka tidak akan membuat episode itu. Dalam hal ini, sebagai kelas yang didominasi, Najwa dan tim kreatifnya memilih mengikuti kelas yang mendominasinya. Jadi, dapat dipahami mengapa Najwa--meminjam istilah Munir--matanya buram bin pudar ketika berhadapan dengan kasus yang melibatkan bosnya.
Berbeda halnya ketika Mata Najwa menghadirkan narasumber Ruhut Sitompul dan Fadli Zon terkait kasus Freeport yang melibatkan Setya Novanto sebagaimana diangkat oleh Yons Ahmad. Matanya kembali tajam, pertanyaannya menusuk dan menukik seperti istilah Munir. Dalam tayangan tersebut, Yons melihat Najwa lebih banyak memberikan porsi bicara kepada Ruhut daripada Fadil. Yons mengatakan, "Najwa sangat tendensius dalam acara itu, dia begitu memberikan kesempatan Ruhut untuk bicara apa saja tapi kerap betul memotong pembicaraan Fadli Zon."
Sebagai pembawa acara, Najwa memiliki kuasa yang diberikan oleh media tempatnya bekerja untuk melakukan hal itu. Secara politis, Fadil memang berseberangan dengan Surya Paloh. Sementara itu, Ruhut berada dalam kelompok yang sama dengan bos Metro TV tersebut. Jadi, tidak heran jika Najwa terkesan berat sebelah dalam perdebatan antara Fadil dan Ruhut. Sebagai pembawa acara, idealnya Najwa bersikap netral. Sikap Najwa yang dirasa kurang netral oleh Yons tersebut menunjukan dominasi kelas penguasa, dalam hal ini pemilik stasiun tv tempatnya bekarja, terhadap dirinya.
Sebagai narasumber yang diundang, Fadli berada dalam kuasa media yang mengundangnya. Kekuasaan itu direpresentasikan oleh sikap Najwa yang menurut Yons sering memotong pembicaraan Fadli. Ada 3 pilihan yang bisa diambil Fadli sebagai pihak yang didominasi sebagaimana yang dikatakan Seno: mengikuti, negosiasi, atau resistensi. Saya melihat, Fadil tidak benar-benar resisten terhadap tayangan tersebut meski saya percaya dia juga sudah tahu situasi yang akan dihadapinya. Jika resisten, tentu dia akan menolak datang. Fadli, menurut saya, memilih negosiasi. Dia datang, tapi tidak sepenuhnya tunduk. Sebagai pihak yang terdominasi, ia memanfaat tayangan itu untuk menyampaikan pemikirannya yang berseberangan dengan ideologi pemilik media yang mengundangnya.
Demikianlah relasi ideologis Mata Najwa terkait pemilik modal dan narasumber yang diundangnya sebagaimana tampak dalam tulisan Munir dan Yons. Simpulannya, ideologi media pasti akan sejalan dengan pemilik modalnya. Jadi, jangan terlalu berharap, Mata Najwa, misalnya, akan mampu memainkan peran media yang netral. Begitu.