[caption caption="spanduk di jalan menuju kampung Pisang (dok. pribadi)"][/caption]Ketika baru tinggal di perumahan Bogor Asri, Cibinong, saya selalu melewati jalan Nanggewer. Setelah perumahan Taman Cibinong Asri, ada sebuah jalan menuju kampung Pisang. Jalan itu tidak terlalu lebar. Jika ada dua mobil berpapasan, bisa dipastikan akan menyebabkan kemacetan. Namun, bukan itu yang menjadi persoalan yang ingin saya bicarakan.
Saat saya membelok ke jalan yang menuju kampung Pisang, mata kita segera disuguhi tumpukan sampah di tepi jalan. Sampah-sampah yang dibungkus kantong plastik dibuang di tepi jalan. Entah siapa yang membuang sampah-sampah itu di sana. Selain menghajar indra penglihatan, sampah-sampah itu juga menusuk-nusuk indra penciuman. Mungkin, karena tidak tahan dengan bau busuknya, warga kampung Pisang berinisiatif untuk membersihkannya. Namun, tidak lama kemudian, ketika saya melalui tempat itu lagi, sampah sudah kembali menumpuk.
Masih di jalur yang sama, di kampung pisang, ada tepi jalan lain yang penuh tumpukan sampah. Di depan sebuah kebun singkong, tumpukan sampah dibungkus plastik kembali menghajar penglihatan saya lagi. Memang, sampah-sampah tidak sebanyak di dekat mulut gang. baunya pun tidak sebusuk di sana, tapi sangat menganggu penglihatan.
Pemilik kebun singkong itu tampaknya sangat kesal dengan ulah penyampah. Ia pernah memasang spanduk yang berisi ancaman. Dalam spanduk itu, ia mengatakan akan memperkarakan ke meja hijau. Namun, ancaman tinggal ancaman. Tumpukan sampah yang masih tetap ada menjadi bukti ketidakseriusan ancamannya. Hingga spanduk itu rusak, belum saya dengan ada penyampah yang diperkarakan. Boleh jadi sudah ada, tapi saya belum mengetahuinya.
Ulah penyampah memang sering membuat kita geram. Barangkali, kegeraman itu yang mendorong warga kampung pisang memasang spanduk yang berisi doa, sebuah doa yang penuh ancaman. Begini doanya:
Ya, Allah...
Mohon cabutlah segera nyawa
para pembuang sampah liar ini
karena mereka adalah penjahat lingkungan
Sampah memang belum hilang sama sekali dari tepi jalan menuju kampung Pisang. Namun, sampah tak sebanyak biasanya. Apakah para penyampah takut Allah mengabulkan doa warga sebagaimana dalam spanduk itu? Atau sudah ada penyampah yang dicabut nyawanya karena doa tersebut? Entahlah. Meski tidak sebanyak dulu, masih saja ada penyampah yang tidak memedulikan spanduk itu.
Di tempat tinggal saya, perum Bogor Asri, Blok L, ada juga doa serupa yang ditulis di dekat sebuah jalan pintas yang menghubungkan blok L dengan jalan Sirojul Munir. Setelah kata-kata umpatan dan kutukan, warga blok L menulis doa: "Semoga tidak selamat di jalan!"
Saya sendiri lebih suka meminta kepada Allah agar menggerakkan hati dan tangan penyampah untuk membuang sampah di tempatnya. Namun, saya juga merasakan kekesalan yang sama dengan warga kampung Pisang dan blok L. Bukan sekadar kesal, melainkan juga geram. Barangkali, doa yang memang lebih cocok untuk para penyampah. Barangkali ....