Lihat ke Halaman Asli

Mitos Sumpah Pemuda dan Balai Pustaka

Diperbarui: 30 Oktober 2015   22:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Diorama Diorama di Museum Sumpah Pemuda yang diabadikan oleh Subekti dari Tempo (sumber: tempo.co)"][/caption]Tanggal 28 Oktober 2015 lalu, bertepatan dengan hari Sumpah Pemuda, saya yang sudah tidak terlalu muda lagi berdiri di depan dosen-dosen penguji. Hari itu, saya harus mempertahankan sidang skripsi saya yang berjudul “Ideologi dalam Novel Sitti Nurbaya karya Marah Rusli: Analisis Narasi”. Dalam sidang itu, Pak Dedi Yusar, salah seorang penguji menanyakan hubungan penetapan novel Sitti Nurbaya sebagai pelopor sastra modern dan hari proklamasi bahasa Indonesia tersebut.

Saya langsung teringat dengan perkataan Ajib Rosidi tentang politik etis di buku Ikhtisar Sejarah Kesusatraan Indonesia (Bandung: Binacipta, 1986) di halaman 14. Ia mengatakan, “Pada tahun 1848 pemerintah jajahan Belanda mendapat kekuasaan dari Raja untuk mempergunakan uang sebesar f 25.000,— setiap tahun untuk keperluan sekolah-sekolah. Sekolah itu didirikan untuk anak orang-orang bumiputera, terutama para priyayi yang akan dijadikan pegawai setempat. Pegawai-pegawai setempat itu diperlukan oleh pemerintah Belanda untuk kepentingan eksploitasi kolonialnya, karena biaya-biaya untuk membayar para pegawai setempat jauh lebih murah daripada kalau mendatangkan tenaga-tenaga itu dari Negeri Belanda.”

Gara-gara hal itu, banyak anak-anak bumiputra yang bisa baca. Bersamaan dengan itu, muncul penerbit-penerbit swasta yang menerbitkan buku-buku yang oleh Belanda dianggap bisa merusak kekuasaan pemerintah dan ketentraman negeri. Balai Pustaka pun didirikan. Dr. D.A.R. Rinkes ditugaskan sebagai kepala Balai Pustaka yang pertama. Dalam buku Balai Pustaka Sewajarnya terbitan Balai Pustaka tahun 1948, Rinkes menyebut buku-buku itu sebagai “bacaan liar” dari saudagar kitab yang tak suci hatinya.

Omongan Rinkes itu mengingatkan saya kepada Marx. Kata Marx, “Ideologi adalah kesadaran palsu.” Sebagai penguasa, pemerintah kolonial menyebarkan kesadaran tersebut melalui stigma bacaan liar dan roman picisan yang hanya dianggap sebaca bacaan pelipur lara yang tidak memiliki nilai sastra. Selain itu, bahasa Melayu tinggi dijadikan standar. Akibatnya, karya-karya yang lahir lebih dulu daripada karya-karya Balai Pustaka tidak dianggap sebagai karya sastra karena menggunakan bahasa Melayu pasar.

Dengan kesadaran tersebut, para ahli sastra seperti H.B. Jassin dan A. Teeuw menjadikan Balai Pustaka dan karya-karya terbitannya sebagai penanda lahirnya sastra modern Indonesia. Hanya Ajib yang memberikan ruang pada karya-karya pra-Balai Pustaka dengan menetapkan tarikh 1900 sebagai awal berkembangnya sastra modern. Sampai hari ini, kesadaran anak-anak sekolah dibangun di atas sejarah sastra yang ditulis oleh Jassin.

“Mitos adalah pesan,” kata Roland Barthes. Mitos Balai Pustaka sebagai pelopor sastra modern merupakan pesan politik yang disebarkan Belanda untuk melestarikan kekuasaannya di Indonesia.

Apa hubungannya dengan Sumpah Pemuda?

Bagi Loise Althusser, ideologi tidak hanya dibutuhkan oleh kelas dominan untuk mempertahankan dominasinya. Althusser juga melihat ideologi sebagai reaksi terhadap suatu dominasi. Setiap penindasan akan melahirkan usaha dari pihak yang tertindas untuk membebaskan diri dari ketertindasan. Ideologi dibutuhkan untuk menggerakkan pihak tertindas dalam pembebasan tersebut. Dengan kata lain, ideologi tidak hanya disebarkan oleh kelas dominan. Kelas yang tertidas pun termungkinkan untuk menyebarkan kesadaran palsu yang oleh Althusser diberi istilah yang lebih positif, yakni ketidaksadaran mendalam.

Sebelum Negara Indonesia ada, Nusantara adalah sekumpulan wilayah-wilayah atau kerajaan-kerajaan yang berada dalam kekuasaan Belanda. Perasaan senasib sepenanggungan dalam jajahan Belanda, membuat perwakilan-perwakilan pemuda dari wilayah-wilayah tersebut, seperti pemuda Jawa, pemuda Sumatra, Pemuda Batavia, dan lain sebagainya, berkumpul dalam sebuah Kongres Pemuda I (30 April - 2 Mei 1926) dan Kongres Pemuda II (27-28 Oktober 1928).

Saat Soegondo berpidato pada sesi terakhir Kongres Pemuda II, M. Yamin  menyerahkan secaraik kertas kepada pemimpin kongres tersebut sambil mengatakan, “Saya mempunyai suatu formulasi yang lebih elegan untuk keputusan kongres ini.” Soegondo membacakan teks yang tertulis dalam secarik kertas tersebut.

Pertama:

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline