Lihat ke Halaman Asli

Ratu Pantai Selatan

Diperbarui: 25 Oktober 2015   23:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="ilustrasi ratu pantai selatan (www.nyairorokidul.com)"][/caption]Ayahku bukan pelaut atau nelayan, tapi kantornya di tepi lautan. Di halaman kantornya, ada sebuah dermaga tempat kapal-kapal singgah. Dalam sepekan, ada saja kapal-kapal yang melepas sauh di dermaga itu.

Ibu suka mengajakku ke sana, setiap liburan sekolah tiba. Aku suka berenang di pantainya atau sekadar berjalan-jalan di antara karang-karang yang ditinggalkan ombak saat laut surut. Namun, setelah aku sembilan tahun dan naik kelas tiga sekolah dasar, Ibu tidak pernah lagi mengajakku ke sana. Sejak itu, Ayah tidak pernah kembali ke rumah.

Ayahku bukan pelaut atau nelayan, tapi kata ibuku, dia tinggal di tengah samudra bersama seorang ratu penguasa Pantai Selatan. Apakah Ayah telah menjadi seorang raja? Pertanyaanku selalu tenggelam dalam suara mesin jahit Ibu. Sudah malam, katanya, sebaiknya kamu tidur.

Dalam tidur, aku bermimpi melihat Ayah. Ia duduk di singgasana dalam sebuah istana, bersama seorang wanita berbusana megah layaknya ratu-ratu dalam negeri dongeng. Istana itu berada di dasar lautan terdalam. Mereka dikelilingi dayang-dayang cantik yang siap melayani apa pun permintaan mereka. Namun, wajah Ayah tidak terlihat bahagia. Aku ingin berenang menghampirinya, tapi ibuku mencegahnya. Katanya, sudah 6.35, kamu mau sekolah jam berapa? Aku segera bangun dan pergi ke kamar mandi.

Di sekolah, seorang temanku membawa majalah Misteri yang isinya tentang dukun dan hantu-hantuan. Sampul majalah itu bergambar wanita cantik dengan busana tradisional yang megah. Warna busananya hijau. Kata temanku, kalau ke Pantai Selatan tidak boleh pakai baju hijau, nanti dibawa pengawal-pengawalnya Nyai Roro Kidul. Siapa Nyai yang dimaksud itu? Temanku menunjuk sampul majalah yang dibawanya. Dia penguasa Pantai Selatan, katanya.

Aku yakin, wanita itulah yang kulihat dalam mimpi. Ia yang duduk bersanding bersama Ayah di atas singgasana. Tentu saja aku tidak yakin apakah wajah wanita dalam mimpi itu sama dengan wanita di sampul majalah. Namun, sosok mereka terlihat sama karena busana yang dikenakannya. Apa Ayah pakai baju warna hijau waktu dijemput pengawal-pengawal Ratu Pantai Selatan untuk tinggal di istananya di dasar laut terdalam? Ibu tidak peduli dengan pertanyaanku. Katanya, lupakan ayahmu dan ratu itu. Suatu hari nanti, kamu pasti tahu.

Usiaku sudah remaja—dua SMP tepatnya, ketika pada suatu malam, pintu rumah kami diketuk seseorang. Ibu bergeming di depan mesin jahitnya. Biasanya, ia tidak mau diganggu saat sedang memasang kantong bobok baju atau celana, bagian tersulit dari proses menjahit. Setidaknya, begitu menurut Ibu. Jadi, aku segera beranjak membuka pintu.

Ayah! Dia berdiri di muka pintu. Matanya kuyu, tapi masih berusaha menelusuri wajahku. Aku mencium tangannya, lalu menuntunnya ke dalam rumah. Seketika itu, mesin jahit Ibu bisu. Sebelah kakinya tidak lagi menapak di atas pedal dinamo. Dagunya terangkat hingga matanya dapat menjangkau wajah Ayah. Beberapa saat mereka saling betukar tatap, hanya beberapa saat. Ibu kembali memandangi jahitannya. Suara mesin jahit kembali menggema ke tiap sudut rumah warisan Nenek. Bikinkan teh hangat untuk Ayahmu, kata Ibu kepadaku, pakai gelas besar lima sendok saja gulanya. Rupanya, Ibu masih ingat gelas dan takaran gula untuk teh Ayah.

Hanya beberapa bulan setelah kembali ke rumah, Ayah terserang stroke. Tubuhnya lumpuh sebelah. Ibu memberinya bawang putih tunggal dan jus timun atas saran seorang ahli pengobatan alternatif. Ia tidak punya banyak uang untuk membawa Ayah ke rumah sakit.

Proses pengobatan itu memang bisa mengurangi tekanan darah Ayah. Mulutnya yang mengsong mulai bisa digerakkan kembali. Tangan dan kakinya yang sempat sekaku kayu mulai bisa digunakan; ia bisa menggenggam gelas teh manisnya sendiri dan melangkah tanpa bantuan penyangga. Namun, ada yang tak bisa disembuhkan oleh obat apa pun, mentalnya sebagai seorang suami yang tak lagi bisa menafkahi istri. Akhirnya, Ayah menutup mata saat aku baru saja lulus SMA.

Dua tahun sepeninggal Ayah, ada seorang lelaki tua dan gadis muda datang ke rumah kami. Mereka menanyakan Ayah. Ibu hanya angkat bahu. Maaf, dia dan keluarganya sudah tidak tinggal lagi di sini, jawab Ibu tanpa melihat kepada mereka. Setelah itu, Ibu masuk ke rumah dan lanjut membuat pola pakaian.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline