Lihat ke Halaman Asli

Perjalanan Panjang Menuju Bangku Kuliah

Diperbarui: 12 Oktober 2015   09:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="ilustrasi (kaoskatamu.com)"][/caption] Setelah memarkir sepeda motor, lelaki itu bergegas menuju gedung Fakultas Sastra. Waktu di ponsel telah menunjuk angka 09.00 WIB. Ia tak ingin terlambat di hari pertamanya sebagai mahasiswa baru jurusan Sastra Indonesia. Lima belas tahun ia menunggu saat ini. Lima belas tahun setelah lulus dari SMA. Akhirnya, ia bisa merasakan duduk di bangku kuliah.

“Di mana ruang pertemuan untuk mahasiswa baru gelombang tiga?” tanya lelaki itu pada mahasiswa yang berkumpul di depan pintu fakultas sastra.

“Sebelah kiri, Pak,” jawabnya.

Lelaki itu segera memasuki ruang yang dimaksud. Alhamdulillah, belum terlambat. Sudah banyak mahasiswa baru yang berkumpul dalam ruangan itu. Beberapa dari mereka menatap lelaki yang baru masuk ke ruangan itu. Barangkali mereka tengah menduga-duga, berapa usia lelaki berkacamata itu? Tampangnya tidak seperti anak yang baru lulus sekolah. Apakah ia seorang dosen? Tapi mengapa ia duduk di bangku mahasiswa?

Tak berapa lama, pejabat struktural di lingkungan fakultas sastra masuk ke ruangan. Acara segera di mulai. Namun, ada yang segera meninggalkan ruangan itu. Lelaki itu, lelaki berkacamata. Fisiknya masih tampak dalam ruangan itu. Namun, pikirannya telah jauh meninggalkannya. Duduk di bangku kuliah, di dalam fakultas sastra sebuah universitas swasta di Bogor, menyurutkan waktu jauh ke belakang. Melemparkan pikirannya ke masa ketika segala kegembiraan setelah menerima kabar kelulusan terluapkan. Ya, hari terakhir baginya mengenakan seragam putih abu-abu. Begini ceritanya.

***

Tak ada yang tahu nilai ijazah dan nem kami. Kata “lulus” di dalam surat yang dikirim via pos itu cukup bagi kami untuk menunjukan kegembiraan kepada dunia! Ya, setelah tiga tahun menuntut ilmu… akhirnya!

Selepas menerima surat kelulusan itu, keesokan hari, aku dan teman-teman berkumpul di sekolah. Sebuah ritual usang telah dipersiapkan. Apalagi kalau bukan coret-coretan? Seragam putih abu-abu yang kukenakan segera berubah jadi media grafiti. Tanda tangan teman-teman. Semburan pilox tak beraturan. Bukan saja baju dan celana, rambutku pun tak luput dari semprotan itu.

Namun, setelah semua kegembiraan itu, seorang temanku melontarkan pertanyaan. “Udah daftar UMPTN?”

Tiba-tiba aku teringat Mama yang semalam harus membiarkan matanya terus terjaga sebab pagi hari, pesanan jahitan harus jadi. Tiba-tiba aku teringat Papa yang berjalan tertatih-tatih karena stroke yang menyerang kaki dan tangannya. Stroke itu yang membuat Papa harus berhenti sebagai supir pribadi.

Aku menunduk, “Kayaknya, biar gue lulus UMPTN, tetep aja orang tua gue enggak mampu membiayai kuliah,” ujarku seperti pesimis, tapi sesungguhnya aku hanya sedang berdamai dengan kenyataan. Ya, aku tak mungkin kuliah! Setelah itu apa?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline