Arswendo Atmowiloto. Namanya barangkali masih melekat di benak banyak orang. Buku-bukunya masih dibaca hingga kini, sampai setelah ia pergi meninggalkan orang-orang yang dicintai dan mencintainya pada Juli 2019 lalu.
Saya mengenal karya Arswendo pertama kali melalui serial Jendela Rumah Kita dan Aku Cinta Indonesia (ACI) yang pernah tayang di TVRI pada 1990an. Arswendo menulis skenario serial televisi yang menjadi salah satu tontonan favorit remaja Indonesia kala itu, termasuk saya yang baru menginjak remaja. Sebelum itu, belum sekalipun saya membaca karya-karya Arswendo Atmowiloto. Baru setelah menjadi mahasiswa di Bandung tahun 1998, saya membaca Mengarang itu Gampang untuk pertama kalinya. Sejak itu, buku-buku Arswendo menjadi salah satu bacaan favorit saya, di antaranya yang berkesan adalah novel Dua Ibu dan buku kumpulan catatannya selama jadi penghuni Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Menghitung Hari.
Pengalaman berjumpa pertama kali secara langsung dengan Mas Wendo - panggilan akrab kepada Arswendo Atmowiloto dari kenalan dan koleganya - terjadi pada tahun 2010-an di rumahnya, di kompleks perumahan Kompas Gramedia, Jakarta. Ketika itu saya bekerja sebagai reporter untuk sebuah stasiun televisi swasta di Jakarta dan ditugasi mewawancarai pemilik nama asli Sarwendo ini. Seperti biasa, ia tampil apa adanya; rambut gondrong, kaus oblong, dan kain sarung. Sambil wawancara, ia mengetik. Rasa-rasanya ia memang tak pernah berhenti mengetik, menulis. Waktu itu Mas Wendo tidak lagi menggunakan mesin tik, namun sebuah komputer pribadi (PC) biasa. Usai wawancara, ia menunjukkan koleksi mesin tiknya, dari yang paling besar sampai mesin tik mini. Sedikit ia bercerita tentang sejarah mesin-mesin tik itu. Baru kemudian saya membaca kisah lengkap mesin tik pertamanya di buku Bersyukur Tanpa Libur: Catatan Kehidupan Arswendo Atmowiloto ini.
Kisahnya cukup mengharukan, karena untuk membeli dan memiliki mesin tik sendiri itu tidak gampang. Arswendo bersama istri harus menabung, menyisihkan sebagian honor menjahit istrinya dan honornya menulis. "Begitulah kami berdua menabung, demi sebuah cita-cita," kenangnya. Ketika mesin tik itu bisa dibeli, Arswendo menentengnya sambil jalan kaki dari toko ke rumahnya yang berjarak sekitar tiga kilometer. "Biar seluruh dunia mengetahui saya mampu membeli mesin tik. Baru. Merek Brother... " (hlm. 53). Begitu barangkali salah satu cara Arswendo mensyukuri dan memberi penghargaan atas usaha dan kesabarannya mencapai (memiliki) sesuatu. "Sejak itu mesin tik itu selalu menyertai saya. Tak peduli siang atau malam. Selalu ada yang bisa saya tik di rumah...," katanya. Mesin tik bagi Arswendo adalah nyawa ketiga. Nyawa kedua adalah doa.
Arswendo mengaku tak lagi menggunakan mesin tik ketika menulis. Untuk merawat kenangannya, ia mengoleksi banyak mesin tik, sampai yang aneh-aneh: ada yang hurufnya amat-sangat kecil, ada yang huruf Jepang, Arab -- tercetak dari kanan ke kiri, Thailand, Ibrani, India, ada yang sangat besar, ada yang hurufnya harus berdiri seperti "bulu merak", ada yang hurufnya kapital semua, ada yang seluruhnya dari perak, ada yang lebih kecil dari korek api (yang ini tak bisa digunakan untuk mengetik, lebih sebagai hiasan), ada yang masih lengkap dengan tas pembungkus dari kulit, dari kayu, dari plastik...(Hlm. 59). Merawat kenangan itu sendiri bagi Arswendo menjadi kekuatan rohani, memberi kekuatan hidup. "Hanya mereka yang pernah lama mengetik dengan mesin tik manual bisa merasakan irama tak-tok-tak-tok yang indah, merdu, memberi kekuatan hidup. Kekuatan itu masih terasakan dulu saat mendengar, juga sekarang saat mengenangnya." (Hlm. 60).
Kisah mesin tik pertama ini adalah satu dari sembilan kisah "pertama" (Anjing Pertama; Ibu yang Pertama; Mesin Tik yang Pertama; Celana Panjang yang Pertama; Tato yang Pertama; Mobil yang Pertama; Rumah Sakitku yang Pertama; Mendalang Pertama Kali; Perkenalan Pertama dengan Makhluk Halus) yang dicatat Arswendo tentang kenangan hidupnya di buku ini. Kisah yang bagi saya juga mengharukan adalah cerita tentang "Ibu yang Pertama". Ini kisah tentang Mbokde Setro, perempuan yang tidak mempunyai anak, yang membesarkan anak orang lain, yang menyayangi, dan bisa mencintai dengan tulus anak yang bukan dari rahimnya. Mbokde Setro dan Pakde yang tak mempunyai anak merawat dan membesarkan Arswendo sejak masih sangat belia.
Meskipun Arswendo memiliki ayah dan ibu kandung, itu tak mengurangi kasih sayang dan perhatian Mbokde dan Pakde; memanjakan, memberinya rasa percaya diri, mewariskan nilai-nilai yang diyakini yang ikut mewarnai sikap Arswendo di kemudian hari. Dibanding saudara-saudaranya yang lain, yang juga dititipkan kepada keluarga yang tak mempunyai anak, hanya Sarwendo yang bertahan tinggal sampai pasangan suami-istri yang dititipi itu meninggal dunia. Begitulah sampai kemudian Arswendo menunggui Mbokde Setro saat meninggalnya. "Saya memangku Mbokde sewaktu lelaku, detik-detik menjelang ajal, mendengar napasnya tersengal-sengal, sampai kemudian bintik di matanya seperti pecah. Itu saat Mbokde meninggal. Di pangkuan saya." (Hlm. 42).
Apa yang kemudian bisa dikenang dari Arswendo Atmowiloto setelah ia sendiri tiada? Bagaimana orang-orang yang paling dekat dan yang pernah mengenal seniman, budayawan, sastrawan, wartawan, dan pengajar ini mengenang dan memaknai kehadirannya? Bagi keluarga; istri, anak-anak, menantu, dan cucu-cucunya, Arswendo adalah sosok yang hangat, perhatian, pejuang, periang dan energik, yang tak biasa mengeluh, dan yang menjalani hidup dengan penuh syukur. Caecilia Tiara, putrinya, mengenang sang ayah yang selalu mengetik dan menjadikan rumah mereka hidup dengan suara mesin tik. Saat mesin tik digantikan komputer, kebiasaan dan suasana pun berubah. Suatu kali, perangkat elektronik ini mendatangkan masalah ketika listrik mati. Arswendo lupa save setelah mengetik berpuluh-puluh halaman tulisan. Alhasil, puluhan halaman tulisan itu hilang tak kembali. Kejadian seperti itu tak hanya sekali, terulang beberapa kali. Kesalkah Arswendo? Marahkah ia? "Tidak ada marah. Tidak ada kesal. Tidak ada umpatan apa pun. Malam itu saya belajar...Bapak selalu memilih menyalakan lilin daripada memaki kegelapan," kenang Caecilia. (Hlm. 156).
Di mata teman dan rekan seprofesinya, Arswendo adalah seorang idealis yang teguh memegang prinsip, sosok yang penuh canda dan suportif, seorang panutan dalam berkarya.
Buku ini seperti membukakan jendela melihat sebuah taman singgah yang menyenangkan dan membuat betah. Taman itu sederhana saja. Di dalamnya kita bisa memandang ke cakrawala luas sambil menikmati angin sepoi, cericit burung-burung, dan kita jadi ngeh karenanya; betapa hidup ini sungguh layak disyukuri. Catatan kehidupan Arswendo Atmowiloto memberikan pelajaran tentang cara bersyukur. Bersyukur itu tanpa libur.