Lihat ke Halaman Asli

Pertanyaan Menyesatkan Pejabat Publik terhadap Penolakan UU Omnibus Law Cipta Kerja

Diperbarui: 14 Oktober 2020   14:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: detik.com

Sejak disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI pada Senin, 5 Oktober 2020, UU Omnibus Law Cipta Kerja terus menghadapi gelombang penolakan. Dalam aksi-aksi penolakan itu, ada satu lontaran pertanyaan yang khas dari pejabat publik setingkat menteri hingga gubernur, "sudah baca UU-nya belum?".  

Diberitakan Kompas.com, saat ini beredar tiga draf RUU Cipta Kerja. Pertama, draf berjudul "5 OKT 2020 RUU Cipta Kerja-Paripurna". Dokumen ini berjumlah 905 halaman. Kedua, draf RUU Cipta Kerja yang berada di situs dpr.go.id dengan 1.028 halaman. Draf kedua ini tidak memiliki tanggal yang jelas. Versi ketiga, draf beredar di kalangan akademisi dan wartawan dengan nama penyimpanan "RUU CIPTA KERJA - KIRIM KE PRESIDEN.pdf". Belum diketahui secara pasti mengenai sumber awal draf RUU Cipta Kerja versi 1.035 halaman ini. Hingga Selasa (13/10/2020), draf itu terus berubah-ubah. Bahkan ada draf versi keempat. Mana yang sah dan legal, belum jelas benar. Yang jelas, presiden sudah membuat klarifikasi soal hoaks terkait UU Cipta Kerja. Publik tentu bertanya-tanya, versi mana yang digunakan presiden? Kepolisian juga barangkali punya versi sendiri untuk menjelaskan kesalahan para penyebar hoaks UU Cipta Kerja. Betapa peliknya. 

Dengan draf yang berubah-ubah itu, pertanyaan yang dilontarkan pejabat publik tersebut dengan sendirinya membingungkan. Selain membingungkan, pertanyaan itu menjadi ngawur, cenderung menyesatkan. Alih-alih memberi penjelasan dan pemahaman yang benar, pertanyaan itu belum-belum sudah melabeli orang-orang yang telah membaca UU tersebut (berdasarkan versi yang beredar) pasti setuju. Sebaliknya, yang belum membaca tentu menolak. Pertanyaan itu sendiri sesungguhnya tidak membuka ruang dialog. Sebaliknya, terkesan hendak menghardik dan maunya benar sendiri. Cara bertanya seperti itu (entah siapa yang menyuruh) juga menunjukkan kegagalan komunikasi. 

Persoalan pelik dari berubah-ubahnya draf yang 'diminta dibaca' itu mengonfirmasi bahwa proses perundangan itu dengan sendirinya memang bermasalah. Ada krisis legitimasi terhadap pemerintah dan DPR. Dengan kata lain, UU Omnibus Law Cipta Kerja tidak legitimate di mata publik.

Penolakan publik terhadap UU Cipta Kerja tentu tidak bisa dihadapi dengan lontaran pertanyaan yang menyesatkan. Suasana kebatinan di tengah-tengah masyarakat yang merasa aspirasinya diamputasi dan negara tidak hadir membela kepentingan rakyat lebih luas, itulah soalnya. Suasana kebatinan di masyarakat inilah yang gagal dibaca pemerintah, DPR,  dan pejabat publik pro Omnibus Law. 

Kegagalan membaca suasana kebatinan masyarakat ini menunjukkan jarak yang dibentangkan penguasa menjadi semakin tak terjangkau. Rakyat sebagai pemegang mandat seringkali dipaksa dan harus terpaksa menerima apa pun kehendak penguasa. Sejak penolakan terhadap revisi UU KPK, dan kini UU Omnibus Law Cipta Kerja, penguasa bukannya menunduk melihat persoalan, justru mendangak dan melontarkan pertanyaan yang seolah-olah dengan itu persoalan selesai. Masyarakat bisa saja dan sah bertanya balik, "apa bapak-bapak dan ibu sekalian yang terhormat bisa membaca kesusahan masyarakat? Sudah bisa belum? Kalau hanya merasa bisa dan bisa merasanya ketika pemilu jangan sok.

Melontarkan pertanyaan yang membingungkan hanya akan menyesatkan masyarakat pada tafsir yang semakin liar. Jangan selalu memaksa rakyat untuk tidak punya pilihan. Tekanan ini akan menyebabkan guncangan lebih besar. Rakyat akan menentukan pilihannya sendiri, dalam diam atau aksi-aksi jalanan.

Penolakan publik terhadap UU Omnibus Law Cipta Kerja mestinya bisa disikapi dengan keterbukaan. Sikap ini tentu membutuhkan komitmen dan keberpihakan lebih serius kepada rakyat. Komitmen dan keberpihakan kepada rakyat dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja, itulah pertanyaan besar yang sesungguhnya lebih penting  dijawab. 

 

 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline