Kebijakan makroprudensial yang diterapkan oleh Bank Indonesia (BI) dari tahun 2018 hingga 2020, yang bertujuan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan Indonesia dan mendukung pemulihan ekonomi, terutama dalam menghadapi dampak pandemi COVID-19. Dalam konteks krisis ekonomi yang disebabkan oleh pandemi, Bank Indonesia harus mengambil langkah-langkah yang tidak hanya menjaga kestabilan sektor keuangan, tetapi juga mendorong pemulihan ekonomi yang terhambat. Kebijakan makroprudensial yang diterapkan selama periode ini sangat penting untuk menjaga keseimbangan antara mendukung pertumbuhan ekonomi dan memastikan stabilitas sistem keuangan tetap terjaga.
Pada tahun 2020, BI mengambil langkah-langkah akomodatif dengan melakukan penyesuaian pada kebijakan makroprudensial, salah satunya adalah pelonggaran ketentuan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM). Penyesuaian ini bertujuan untuk meningkatkan likuiditas perbankan dan mempercepat pemulihan ekonomi yang sempat terhenti akibat pandemi. BI memberikan kelonggaran pada bank untuk lebih fleksibel dalam memenuhi target RIM, yang membantu meningkatkan kapasitas intermediasi perbankan tanpa harus menghadapi kewajiban tambahan. Langkah ini penting, karena memperbolehkan bank-bank untuk lebih aktif dalam menyalurkan kredit ke sektor-sektor yang membutuhkan pembiayaan, seperti sektor riil yang terdampak pandemi. Selain itu, penyesuaian pada PLM yang meningkatkan rasio cadangan likuiditas bertujuan untuk memperkuat ketahanan sektor perbankan terhadap guncangan yang disebabkan oleh ketidakpastian ekonomi global dan domestik.
Namun, meskipun kebijakan ini bertujuan untuk mendukung pemulihan ekonomi, kebijakan tersebut membawa potensi risiko yang harus diwaspadai. Salah satu risiko utama yang perlu diperhatikan adalah kemungkinan meningkatnya Non-Performing Loan (NPL) akibat ketidakpastian ekonomi yang berkepanjangan. Bank-bank yang lebih fokus pada peningkatan kredit untuk mendukung sektor riil mungkin akan menghadapi tantangan dalam mengelola kualitas kredit yang disalurkan, terutama jika sektor-sektor yang mendapatkan pembiayaan tidak mampu mengelola kondisi ekonomi yang sulit. Dengan demikian, meskipun kebijakan akomodatif sangat diperlukan dalam kondisi krisis, BI juga perlu memastikan bahwa risiko kualitas kredit tetap terkelola dengan baik agar tidak membebani sektor perbankan di masa depan.
Pada periode 2018 hingga 2019, fokus utama Bank Indonesia adalah penguatan sektor riil melalui kebijakan yang mendorong bank untuk lebih aktif menyalurkan kredit kepada sektor produktif. Pengenalan instrumen seperti RIM dan PLM menjadi sarana bagi BI untuk menjaga likuiditas perbankan sekaligus mendorong kredit kepada sektor-sektor yang dianggap strategis dalam perekonomian, seperti infrastruktur dan manufaktur. Pada tahun 2018-2019, BI juga menerapkan kebijakan pelonggaran Loan to Value (LTV) pada sektor properti untuk mendukung pasar properti yang menghadapi tekanan akibat melambatnya permintaan. Pelonggaran kebijakan LTV ini memungkinkan bank untuk memberikan kredit yang lebih besar kepada nasabah dengan jaminan properti, yang dapat mempercepat pemulihan sektor properti. Meskipun kebijakan ini memberikan dorongan yang positif bagi pasar properti, langkah tersebut juga berpotensi memperburuk risiko sistemik, terutama jika tidak diikuti dengan pengelolaan risiko yang baik.
Potensi terjadinya gelembung properti menjadi salah satu risiko utama yang perlu diwaspadai. Tanpa pengawasan yang cermat terhadap penyaluran kredit di sektor properti, kebijakan ini dapat berujung pada pembengkakan kredit yang tidak sehat, yang akhirnya dapat memperburuk masalah likuiditas dan NPL dalam jangka panjang. Meskipun kebijakan ini memiliki tujuan positif untuk mendorong sektor properti, BI perlu berhati-hati dalam memastikan bahwa kredit yang diberikan kepada sektor ini tidak mengarah pada penumpukan risiko yang berpotensi merugikan stabilitas sistem keuangan.
Salah satu kebijakan makroprudensial yang juga penting adalah penetapan Countercyclical Capital Buffer (CCB) sebesar 0% pada tahun 2018-2019. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan likuiditas dengan memberikan ruang yang lebih besar bagi bank untuk menyalurkan kredit, terutama ketika kondisi ekonomi sedang melambat. Meskipun langkah ini mendukung upaya pemulihan ekonomi, ada kekhawatiran bahwa kebijakan ini dapat mengabaikan potensi risiko sistemik yang muncul di masa depan, terutama jika terjadi lonjakan kredit yang tidak terkendali ketika pemulihan ekonomi mulai stabil. Dalam jangka panjang, BI harus mempersiapkan langkah-langkah untuk mengatasi kemungkinan overheating ekonomi yang dapat terjadi setelah periode relaksasi kebijakan ini.
Seiring berjalannya waktu, kebijakan Bank Indonesia juga semakin berfokus pada keberlanjutan ekonomi, khususnya melalui penerapan green financing. Dalam rangka mendukung ekonomi hijau, BI memperkenalkan insentif seperti pelonggaran uang muka untuk kendaraan bermotor berwawasan lingkungan dan properti ramah lingkungan. Langkah ini menjadi bagian dari upaya BI untuk mendorong sektor-sektor yang mendukung keberlanjutan lingkungan dan mengurangi ketergantungan pada sumber daya alam yang tidak terbarukan. Keberhasilan green financing ini tentu sangat bergantung pada kesiapan infrastruktur dan penerimaan masyarakat terhadap transformasi tersebut. Penerapan kendaraan ramah lingkungan membutuhkan pengembangan infrastruktur pengisian daya untuk kendaraan listrik, yang memerlukan investasi besar dari sektor swasta dan pemerintah.
Namun, meskipun kebijakan ini memberikan dorongan positif bagi sektor hijau, keberlanjutan dari kebijakan ini perlu diuji lebih lanjut. Salah satu tantangan utama dalam penerapan green financing adalah sinergi antara kebijakan moneter dan kebijakan sektoral lainnya, seperti kebijakan perpajakan yang memberikan insentif bagi sektor hijau. Hingga saat ini, insentif perpajakan untuk sektor hijau masih terbatas, dan BI perlu mendorong kebijakan yang lebih komprehensif untuk mendukung pertumbuhan sektor ini secara berkelanjutan. Selain itu, kebijakan ini juga harus diimbangi dengan pengawasan yang ketat terhadap kualitas kredit, untuk menghindari risiko akumulasi utang konsumsi yang dapat memperburuk rasio NPL di masa depan.
Kebijakan Bank Indonesia dalam mendukung pemulihan ekonomi pasca-pandemi dengan fokus pada ekonomi hijau dan digitalisasi merupakan langkah yang relevan dan tepat. Kebijakan makroprudensial yang diterapkan selama periode 2018 hingga 2020 berhasil mendukung likuiditas dan pertumbuhan sektor-sektor produktif. Namun, keberhasilan kebijakan ini harus diimbangi dengan pemantauan dan evaluasi yang cermat terhadap dampak jangka panjangnya, terutama dalam hal risiko sistemik, kualitas kredit, dan stabilitas sektor keuangan. Green financing, yang menjadi fokus baru dalam kebijakan BI, memerlukan dukungan yang lebih besar dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk sektor swasta dan pemerintah, untuk menciptakan ekosistem yang kondusif bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif. Keberhasilan green financing tidak hanya bergantung pada kebijakan BI, tetapi juga pada komitmen seluruh pemangku kepentingan dalam mewujudkan ekonomi yang ramah lingkungan dan inklusif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H