Lihat ke Halaman Asli

Arhoiba

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Luka Dalam Bibir Ababil

Marilah kejar bintang-bintang itu. Bukan pada malam ini saja,
duduklah diam patuki detak jarum jam. Bukan pada malam ini saja,
tunduklah Arhoiba, kau bunga mekar di atas rerumputan basah
Rumput yang berbicara memacari cemara di tubir penggal detik yang
ditebas jarum jam itu.

Arhoiba, kau luka yang diserahkan ke dalam bibir Ababil
Mimpimu habis dikunyah semesta ketika di gerbang Arkana kau
susun puluhan singgasana mengajak raja-raja untuk mengejar bintang
bintang. Ababil bisu, melegam dibakar raganya sendiri. Tiap kepakannya bergema sahut menyahut namamu. Maka di sana muncul dari ayakan pasir
yang dimuntahkan Versimell -gunung itu- perkenalkan bintang pertamamu, merajah diri dengan nama, sebut saja Washeya.

Oo, luka berambut indah yang memeluk gunung-gunung. Oo, pembawa telaga bersusun tiga dalam genangan di atas pasir Versimell!
Washeya, bintang pertama itu. Kau dongeng tidur yang prasasti menggantung dalam tembok Arkana. Dunia yang bernama bayang-bayang. Tiap jengkalnya mengalir keangkuhan perang. Untukmu Arhoiba, Versimell sedia menyingkap pepasir dua juta tahun yang membenamkan dongeng ke dalam botol mitologi purba.

Marilah kejar bintang-bintang itu lagi, Arhoiba!
Jarum jam yang kau duduki dalam gigitan Ababil semakin rakus
mengunyah detik, mengiris daging-daging
melumatkan dongeng pada malam.

“Bukan kau kiranya, Washeya. Mimpiku masih menari, mengelupasi dinding
gerbang ini, menyusun kembali singgasana raja-raja yang rela mati
mengejar bintang-bintang lain bersamaku”.

Safa Marwa, Desember 2013

Di Gerbang Arkana

Arhoiba menata tatakan gelas para raja. Deru puing puncak Versimell memanggil kawanan badai, mengelus angin lalu menyimbah hantam gerbang Arkana, tempat Arhoiba menyusun singgasana raja-raja yang berkhidmat kepadanya. Oo prahara, detik jam mengiris tajam. Tatakan gelas berhamburan menjadi bulu. Bulu menjelma menjadi api. Api membakar dalam lautan. Istana terpanggang. Arhoiba, pilu menanti datangnya bintang kedua, Washmina.

Washmina, bintang air. Dulu gencar mengibaskan selendang dalam salju. Arkana berbalut basah, sejuk berdesir. Gerbang membiru memagut rembulan bersama singgasana. Washmina dahulu kala, sejak Arhoiba menggoda para raja. Menghujam ke dalam bebatuan. Menyeret desir, rembulan dan warna biru. Lenyap sejuk, basah air. Arhoiba menangis.

Marilah kejar bintang-bintang itu lagi, Arhoiba!
Jarum jam yang kau duduki semakin rakus
mengunyah detik, mengiris daging-daging
melumatkan dongeng pada malam.

Gemuruh langit membilas Arkana, padang pasir, prasasti-prasasti. Derak tanah rengkah, badai prahara melenguh.
Di hadapan singgasana, di atas puing gerbang Arkana. Arhoiba merapalkan doa. Selendang jingga mengibas udara yang merah.
Washmina! menyingkaplah!

Safa Marwa, Januari 2014



Daulat Washmina

Gugur angin meracau petala. Sinar-sinar berkilauan keras menusuk tiang pancang istana. Istana Arkana yang memuing gosong dan berasap. Sebongkah isi perut Versimell yang dimuntahkannya dengan beringas perkasa pongah menanti nyanyian pepasir menyingkap ribuan desing suara, hembuskan petaka menusuk Arhoiba ketika selendang kebesarannya menjamah udara.
Arhoiba, bunga mekar perindu rerumputan di taman istana Arkana.
Ibu Agung para pangeran dan putri. Yang diwariskan para raja ke dalam rahimnya. Daulat Arkana.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline