Teruntuk Mas Cahya tersayang, Bandung dulu baru Jakarta, senyum dulu baru dibaca
Teman-teman yang lahir di rentang waktu 1981-1996 dan saat ini berusia 24-39 tahun, mungkin sempat merasakan sensasi membaca surat dalam secarik kertas atau bahkan lebih.
Surat yang ditulis dengan seksama dan tentunya dengan penuh pemikiran, karena pasti susah betul memikirkan apa yang hendak ditulis. Rasanya memang seperti itu, karena bagi mereka yang dulunya dipisahkan oleh pacaran jarak jauh maupun dipisahkan karena perantauan, mengirimi dan dikirimi surat adalah momen yang begitu indah dan sangat dinantikan.
Surat ditulis, ditanda tangan, bahkan diberikan kecupan lippenstift atau pemulas bibir untuk menjadi kenang-kenangan dan mungkin bagi sebagian nostalgia biologi pasangan.
Tak lupa, dimasukkan ke dalam amplop, dan perangko kala itu melengkapi nuansa saling jauh ini. Setelah proses serba imaji dan fantasi dalam rupa tekstual, kini saatnya bagi POS INDONESIA menyalurkan hasrat isi surat tersebut. Pak Pos sebagai penyampai pesan, memiliki fungsi strategis. Tak hanya memastikan surat itu sampai kepada si empunya isi surat, namun ia juga memastikan surat dalam keadaan baik dan tidak rusak.
Kembali ke masa itu, mungkin kita benar-benar menikmati senja layaknya sebuah semburat jingga yang membuat hati tersayat-sayat, saat mengingat wajah kedua orang tua yang telah menua.
Dalam doa mereka mendaraskan puja kepada semesta agar Sang Khalik menjaga anaknya yang berjuang demi hidup mereka berdua yang tak mampu lagi melawan kehendak alam, dan juga bagi mereka. Di masa kini, generasi sandwich istilahnya.
Bagi sang kekasih, membaca surat sambil memeluk guling seolah menjadi pelampiasan rindu yang tak kunjung usai. Terkadang suratpun memiliki aroma minyak wangi sang kekasih, yang membuat rasa rindu itu semakin membuncah. Di jaman itu, imaji memang memiliki peran penting, itulah mungkin kenapa surat-surat selalu memiliki pesan yang begitu dalam dan sarat makna.
Pos Indonesia, Dulu, Kini, dan Nanti