Sejak Kamis kemarin, jagat media massa dihebohkan dengan kasus penembakan di Kafe RM di Cengkareng, Jakarta Barat. Pelaku diketahui seorang anggota polisi, Bripka CS. Seminggu yang lalu, yang lebih menghebohkan Kepala Polisi Sektor (Kapolsek) Astana Anyar, Kota Bandung, Kompol Yuni Purwanti Kusuma Dewi ditangkap Propam Polda Jabar dan Mabes Polri terkait kasus penyalahgunaan narkoba jenis sabu. Apapun berita yang terkait dengan kasus yang melibatkan anggota polisi selalu menjadi konsumsi pemberitaan yang memiliki daya baca cukup tinggi.
Silahkan kawan-kawan sekalian googling saja, kata kunci "penembakan di cafe" terdapat sekitar 272.000 hasil (0,65 detik) hingga siang ini Jumat, 26 Februari 2021. Lalu untuk kasus Kompol Yuni jika kita mengetik di kolom pencarian "Kompol Yuni" maka akan terlihat data sekitar 7.220.000 hasil (0,52 detik) sejak seminggu lalu. Artinya dalam 1 hari saja untuk kasus penembakan di cafe ada 272.000 orang mencari berita ini dan 7 jutaan orang membicarakan Kompol Yuni selama seminggu.
Hingga akhirnya saya benar-benar menyadari betapa berat profesi seorang polisi ini. Menjadi polisi adalah stigma menjadi selebritas dari berbagai profesi yang ada. Coba saja kalian cermati bunyi dalam sumpah Tri Brata ini :
1. Berbakti kepada nusa dan bangsa dengan penuh ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
2. Menjunjung tinggi kebenaran, keadilan dan kemanusiaan dalam menegakkan hukum negara kesatuan republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945
3. Senantiasa melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat dengan keikhlasan untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban
Profesi yang di mana sejak sumpahnya dia harus setia kepada nusa dan bangsa, lalu bersumpah setia dalam cinta akan profesinya untuk melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat dengan keiklhlasan. 24 jam dalam satu hari, 7 hari dalam seminggu. Jika tidak bosan, maka perasaan lelah adalah hal yang wajar karena kan polisi juga butuh me time ( baca : leyeh-leyeh atau rebahan).
Kita tidak mencoba cari tahu apa yang melatarbelakangi kejadian dua anggota Bhayangkara tersebut. Namun, jika saja kita bisa memutar sedikit 10 menit sebelum kejadian, saya berharap Bripka CS dan Kompol Yuni bertemu patung polisi dalam perjalanan mereka ke lokasi kejadian tersebut. Siapa tahu nih ya kawan-kawan, siapa tau sebelum ada niat dari bapak dan ibu polisi tersebut mereka tertegun sejenak memandangi raut wajah patung polisi tersebut sambil membayangkan sumpah Tri Brata yang sudah merasuk dan ditiupkan ke dalam patung polisi tersebut.
Patung Polisi Yang Sabar dan Bersahaja
Jika sempat membandingkan beberapa patung polisi, maka bisa dilihat ada semacam keseragamam dalam rupa, alat kelengkapan, serta bahasa tubuh yang menjadi template. Wajah patung tersebut ya rata-rata beralis tebal, dengan badan atletis tidak ada tumpukan lemak, mungkin karena banyak di jalan dan berkegiatan. Lalu biasanya bermata lebar agar terlihat sumringah dan berwajah bersahabat, dan yang pasti adalah seragam coklat rapih, Namun ada juga yang terkadang terlihat sendu dan sedih seolah menunduk dalam kegalauan meskipun tertutup masker karena prokes saat ini.
Patung polisi bekerja tak kenal lelah. Di kemacetan tangan mereka tetap terentang lurus. Hujan badai ataupun teriknya sang mentari tak menyurutkan niat mereka untuk memberikan penyertaan dan pelayanan kepada warga yg berlalu lintas. Sedari subuh, siang merekah, senja nan jingga hingga petang datang, mereka tidak pernah mengeluh, walau kadang ada saja oknum-oknum anak remaja tanggung yang mencorat-coret wajah mereka, mengenakan pakaian yg tidak pantas dan mengganti helmnya dengan helem Bogo Doraemon. Tapi mereka diam, karena mereka tahu bahwa itu hanyalah godaaan kecil akan profesi mereka. Bahkan mereka tetap memberikan hormat, sekali lagi karena mereka paham bahwa mereka lah pelayan warga negara Indonesia yang hadir penuh keikhlasan untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban.