Lihat ke Halaman Asli

Den Mas Vic

Indah Karena Benar

Mungkin Eiger Harus Belajar dari Pak Tino Sidin, Maestro Dua Gunung yang Gak Baperan

Diperbarui: 31 Januari 2021   05:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lukisan Pemandangan Legendaris, sumber gambar: rimbakita.com

Pelajaran kesenian di sekolah dasar biasanya menjadi ruang pamer kreativitas di sekolah. Setiap anak bagaimana pun karakternya pasti ada saja darah seni yang mengalir. 

Nah, mata pelajaran ini juga menjadi salah satu mata pelajaran favorit saya dari kecil, sifat seni yang bebas membuat saya tidak harus membatasi diri perihal hapalan, rumus, dan turunannya. 

Alibi saja padahal nyat pekok tekan cilik. Satu di antara jenis mata pelajaran itu yang cukup saya suka adalah menggambar.

Ketika tiba saatnya Ibu Guru menyuruh kami mengeluarkan alat menggambar, saya ingat betul ketika memandangi teman-teman kecil saya. Ada pandangan melihat ke atas layaknya Galileo yang memikirkan "Diagramma della Verita", Diagram Kebenaran. 

Lalu ada kawan yang mondar-mandir tengok kiri dan kanan layaknya Pak Satpol PP yang akan merazia orang yang tidak memakai masker, pun begitu seorang teman saya dengan gaya topang dagunya berpikir agar terlihat layaknya patung The Thinker. entah apa yang dipikirkannya. 30 menit waktu menggambar, lalu Ibu Guru pun meminta gambar dikumpulkan . 

Dan yang terjadi...

Hampir 99 persen murid di dalam kelas tersebut menganut aliran naturalisme. Meski dengan nuansa yang berbeda, atau bentuk garis yang dimodifikasi, kami semua menggambar dua gunung, matahari bersinar di tengahnya, jalanan lurus, dan persawahan, tidak lupa huruf "M" di atas langit dengan garis di bawah. 

Ada yang gunungnya simetris besarnya, ada pula yang tidak, ada yang jalanannya lurus karena mendapat subsidi infrastuktur, ada yang tidak. Lalu ada yang rumahnya besar, ada pula yang tidak. 

Mungkin tergantung cicilan orang tuanya. Ada yang huruf "M" nya melengkung kecil, ada yang besar, mungkin kalo yang besar habis ditraktir Big Mac. Semuanya memiliki pandangan, ulasan, dan terjemahan yang berbeda atas sebuah karya yang menjadi landasan karya gambar mereka. Sebuah karya dari maestro seni rupa asal Indonesia, Tino Sidin. 

Namun, apakah bapak Tino Sidin marah? Kok saya berpikir rasanya beliau cukup arif dan bijaksana untuk tidak memarahi anak-anak macam kita ini. Karena sebagai maestro, dia sudah memikirkan bahwa apapun review, tanggapan, dan reka karya anak kecil itu adalah..."Bagus!, kalimat yang diucapkannya pada setiap sesi acara menggambar yang dilakukannya. Tidak ada rasa di dirinya bahwa,

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline