Lihat ke Halaman Asli

Den Mas Vic

Indah Karena Benar

Suku Badui Nol Kasus Positif Covid-19, Bukti Cinta Atas Alam yang Dijaga

Diperbarui: 23 Januari 2021   22:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemuda Suku Badui dan gawainya di Stasiun Tanah Abang, dok: pribadi

Hingga 22 Januari 2021 pukul 16.55 WIB berikut data terbaru perkembangan virus corona dari Kementerian Kesehatan yang dilansir dari detik.com. Kasus positif sebanyak 965,283, meninggal dunia 27,453, sembuh 781,147. Data ini berlaku untuk secara akumulasi untuk wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lalu, saya membaca berita hari ini yang ternyata sudah lewat, isinya adalah masyarakat adat Badui - tidak usah kita perdebatkan Baduy dengan menggunakan huruf akhir 'y' atau 'i'ya - di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten hingga kini belum ditemukan kasus positif penyebaran pandemi Covid-19. 

NOL POSITIF KASUS CORONA

sudah hampir setahun dan belum ditemukan kasus positif. Ini sih gokil ngab, istilah anak sekarang.

Secara geografis wilayah Kanekes terletak pada koordinat 627'27" -- 630'0" LS dan 1083'9" -- 1064'55" BT (Permana, 2001). Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Rangkasbitung, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung, Provinsi Banten. Urang Kanekes, Orang Kanekes atau Orang Baduy/Badui merupakan kelompok etnis masyarakat adat suku Banten di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Populasi mereka sekitar 26.000 orang, dan mereka merupakan salah satu suku yang mengisolasi diri mereka dari dunia luar. Selain itu mereka juga memiliki keyakinan tabu untuk di dokumentasikan, khususnya penduduk wilayah Baduy Dalam. 

Yang menjadi menarik kita dalami, kok bisa ya sudah hampir setahun makhluk gaib bernama Covid-19 ini tidak bisa menembus benteng Suku Badui? Apakah karena kegaiban suku ini sendiri, sehingga sang corona merasa tidak perlu memperkenalkan dirinya lagi kepada sesama gaib, karena berbicara Suku Baduy memang kita tidak bisa lepas dari semangat kearifan lokal yang terus dijaga saat ini yaitu semangat untuk  mengisolasi diri seperti yang disebutkan di atas. Kan ada yang bilang, hal-gal gaib diidentikkan dengan kesunyian, kesendirian, dan kegelapan. 

Jadi bisa dibilang, mereka ini sebenarnya sudah paham konsep isolasi mandiri, isolasi lokal, psbb lokal, psbb ketat, longgar, proporsional yang kadang kadang ketat lalu dilonggarkan jauh-jauh hari sebelum pandemi ini melanda. Sebentar-sebentar, katanya kan mereka ini dianggap primitif/kuno bukan? Lha wong bertemu di stasiun kereta api di pusat kota Jakarta saja gak pakai sandal, kok bisa sih gak kena corona? Jadi, mari kita studi banding ke Negara Kearifan Lokal Suku Badui ini.

Konsep Tri Tangtu Di Masyarakat Sunda

Budi Dalton seorang budayawan Sunda yang juga merupakan pendiri dan pernah menjadi El Presidente (Jabatan tertinggi) Brotherhood mengatakan dalam obrolannya di tayangan Humor Sufi, ada konsep bernama Tri Tangtu  yang menjadi pijakan hidup urang Sunda, semacam way of life nya gitu lah. Nah di dalam Tri Tangtu ini, konsep kesemestaan terwujud dalam sebuah kemanunggalan di dalam tiga aspek Raga, Rasa, Ingsun. Sedap betul Budi Dalton mengutarakan bahwa jika manusia membangun kemanunggalan ini dalam dirinya, berarti sejatinya dia secara sadar sudah meletakkan dasar keseimbangan kosmik dalam perbuatan, pikiran dan perkataannya. 

Pengejewantahan Tri Tangtu diterapkan dalam pemikiran masyarakat tradisional Sunda, antara lain: 

  • Silih asah, silih asuh, silih asih
  • Tekad, ucap, lampah
  • Naluri, nurani, nalar
  • Leuweung larangan, leuweung tutupan, dan leuweung garapan.
  • Dunia atas, dunia bawah, dan dunia tengah
  • Langit pemberi hujan, tanah yang menumbuhkan tanaman dan manusia yang memungkinkan itu, dengan mengawinkan langit dan bumi

Dalam pandangan hidup orang Sunda, ditegaskan bahwa orang Sunda tidak mengandalkan keyakinan hidupnya itu pada kekuatan diri sendiri saja, melainkan pada kuasa yang lebih besar, pengguasa tertinggi, sumber dan tujuan dari segalanya, yang disebut dengan berbagai nama, antara lain Gusti Nu Murbeg Alam (wikipedia, Thomas Maman Suherman ( 2005 ). Melintas Jurnal Filsafat dan Teologi. Bandung: 75. Bandung. hlm 41 ).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline