Sejenak ingatan saya kembali kepada obrolan bersama sastrawan Indonesia, Joko Pinurbo yang akrab disapa JokPin di Bandara Halim Perdana Kusuma, sesaat setelah beliau mendarat dari Jogjakarta pada Oktober 2019 silam. Dalam obrolan ngalor ngidul itu, dengan lancangnya saya tanyakan kiat beliau kok bisa seorang JokPin yang termasuk angkatan kolonial karyanya bisa begitu dinikmati angkatan milenial saat ini. Istilahnya lintas jaman begitulah. Cukup lancang karena saya yang bukan apa-apa bertanya kepada Empu Sastra yang kesaktiannya tidak tertandingi. Sambil menghisap rokoknya dan menikmati kue paginya beliau berujar,
"Generasi sekarang ki ora ngerasake lapar mas, semua sudah terpenuhi, kenyang rasanya."
Lapar yang dimaksud JokPin adalah lapar akan informasi, bahwa dalam kelaparan beliau di masanya, dia mendatangi perpustakaan, toko buku, atau meminjam catatan dan jurnal dari rekan lainnya. Dipelajari betul, dianalisa dengan cermat dalam proses belajarnya bagaimana sumber informasi tersebut menjadi sumber daya karya sastranya kelak. Inilah yang kini tidak dirasakan generasi kini, yang acapkali dengan mudah dan begitu melimpah bisa mendapatkan sumber informasi.
Berbicara kenyang dan memaknai keIndonesiaan, peristiwa akhir-akhir ini yang terjadi bisa menjadi semacam refleksi tersendiri. Ya, bisa kita lihat dalam dua pekan saja sudah begitu berlimpah banjir informasi yang membuat kita hening akan bencana alam yang melanda negara kita. Mulai dari kecelakaan pesawat Sriwijaya Air SJ182, lalu berlanjut erupsi Gunung Merapi, disambung banjir di Kalimantan Selatan, longsor di Tasikmalaya, banjir rob di Manado, disusul longsoran awan panas gunung Semeru, dan angin puting beliung di Waduk Gajah Mungkur.
Tanpa mengesampingkan semua bencana yang ada tersebut, rasanya bencana banjir di Kalimantan Selatan dapat kita jadikan perhatian. Bagaimana banjir ini merupakan paradoks atas kekenyangan yang dimiliki Indonesia dalam segi sumber daya alamnya. Seperti kita tahu, Kalimantan adalah salah satu paru-paru dunia, dengan luas 743.330 km, pulau ini ditahbiskan menjadi pulau terbesar ketiga di dunia setelah Greenland dan Papua Nugini. Dengan merujuk pada data itu saja kita sudah tahu benar bahwa Kalimantan memang sulit dilupakan kebesarannya. Teka-teki banjir besar yang melanda Kalimantan Selatan masih menjadi perdebatan sengit hingga kini, saling silang argumentasi terkait penyebab banjir pun dilontarkan berbagai pihak. Banyak pihak meyakini bahwa banjir kali ini adalah sinyal darurat atas lalainya kita sebagai manusia menjaga alam ini. Bisa kita sebut, darurat ekologis.
Rasa Lapar Membuat Mawas Diri
Konon, rasa lapar itu sebenarnya malah bagus untuk membangun produktivitas dan kemawasan diri. Para peneliti di Yale School of Medicine menerbitkan sebuah studi pada 2006 yang melansir bahwa rasa lapar membantu siswa belajar lebih baik. Nah, untuk lebih spesifik, sebenarnya bukan lapar yang berperan tapi hormon yang diproduksi saat perut kosong dan merangsang fungsi otak lebih tinggi. Pun begitu yang sepertinya dilakukan oleh Bante Damasubo Mahatera, rohaniwan Budha yang terus memelihara rasa laparnya dengan hanya makan kenyang satu kali selama satu hari.
Kita sudah begitu terlalu sering merasa kenyang di negeri kita, kelimpahan sumber daya alam membuat kita merasa nyaman berasa di dalamnya. Lantas kita terkantuk dan tertidur. Kita terus menggali alam, mengeruk lebih dalam, dan membangunnya atas nama ekonomi dan label materialistik lainnya, bahwa nilai hidup sesorang hanya diukur dari kepemilikan nilai dan harta bendanya. Pembangunan, percepatan, dan lainnya adalah alasan yang terus disampaikan saat kita merubah alam ini. Setelah mengambil dari alam, kita lupa untuk memberikan apa yang alam minta. Alam hadir jauh sebelum kita ada, bukan kita tuan rumahnya namun kitalah tamunya. Sebagai tamu, jika tuan rumah sudah memberi kenyamanan kita pun wajib membalasnya dengan kebaikan pula.
Di saat inilah, rasa kangen akan guru bangsa seperti Romo Mangun itu membuncah. Dalam kapasitasnya sebagai rohaniwan dan arsitek, sang mahaguru mengatakan, pulchrum splendor est veritatis bahwa keindahan adalah pancaran kebenaran. Sudah benarkah kita akan tindakan yang kita lakukan terhadap alam ini, manakala kita liat keindahan alam Indonesia ini mulai memudar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H