Lihat ke Halaman Asli

Laser Narindro

Tidak bisa menilai diri sendiri

Wajah Dunia Pendidikan Pasca Era Reformasi dan Era Dunia Industri 4.0

Diperbarui: 3 Oktober 2019   16:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pernah dengar semboyan, "Ada uang, ada barang" ? Artinya kualitas produk (barang / jasa) sejajar dengan nominal rupiah yang setara dengan kualitas produk. Seperti hukum alam yang berlaku di dunia bisnis. 

Kembali ke topik, fenomena yang sering saya perhatikan adalah berjamurnya bisnis di bidang pendidikan dan kesehatan di beberapa Kota di Indonesia, menunjukan bahwa memang benar bahwa baik Pemerintah Pusat dan Daerah belum dapat menyanggupi sepenuhnya untuk menyelenggarakan sistem pendidikan untuk masyarakat dan memberikan pendanaan Pendidikan Gratis secara menyeluruh di Indonesia. 

Tidak ada yang salah memang. Akan tetapi kalau merujuk kepada Pasal 31 Undang - Undang Dasar (UUD) 1945, ayat 3 yaitu "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang." dan ayat 4, "Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendidikan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional", artinya disini pihak yang wajib menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional beserta anggarannya adalah Pemerintah baik tingkat Pusat, Provinsi maupun Kota / Kabupaten. 

Tapi memang kenyataannya kemampuan Pemerintah baik dari segi sarana dan prasarana, pengelelolaan SDM dan manajemen sumber pendanaan belum bisa mencukupi sepenuhnya kebutuhan penyelenggaraan pendidikan. 

Faktualnya, setelah diskusi dengan Dinas Pendidikan Kota Semarang, dengan sampling peserta didik di Kota Semarang, perbandingan jumlah penerimaan peserta didik pada Sekokah Negeri dan Swasta di Kota Semarang saja pada jenjang Sekolah Dasar (SD) yang memasuki Sekolah Negeri berkisar +- 80 % dan +- 20 % masuk ke Sekolah Swasta, jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) +- 70 % masuk ke Sekolah Negeri sedangkan 30 % masuk ke Sekolah Swasta, untuk jenjang pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) sederajad, +- 50 % masuk ke Sekolah Negeri dan 50 % masuk ke Sekolah Swasta sedangkan untuk jenjang pendidikan pada Perguruan Tinggi +- 30 % masuk ke PTN (Perguruan Tinggi Negeri) dan -+ 70 % menempuh pendidikan di PTS (Perguruan Tinggi Swasta). 

Artinya, memang peran swasta dalam peran serta di dunia pendidikan memang masih diperlukan untuk saat ini akan tetapi akan timbul permasalahan baru seperti bagaimana dengan pengelolaan pembiayaannya, operasional, SDM dan lain lainnya nya ? 

Masih banyak kesenjangan sosial yang diterima anatara sekolah negeri dan swasta terkait pembiayaan pendidikan dan kualitas pendidikan yang diterima oleh peserta didik. Belum lagi program wajib belajar 12 tahun yang dicanangkan oleh Pemerintah Pusat dan 9 tahun untuk Pemerintah Kota / Kabupaten, belum bisa dikategorikan berhasil. 

Ini dibuktikan masih terdapatnya angka putus sekolah di masing - masing Kota Kabupaten serta Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM) yang belum menyampai 100 %. Ada yang tahu berapa besaran angka putus sekolah sekarang dari jenjang pendidikan SD hingga jenjang perguruan tinggi ? 

Ada yang tahu berapa besaran angka partisipatif kasar dan murni untuk Sekolah Dasar dan Menengah sekarang ? Dari jaman Orde Baru juga wacana program wajib belajar 6 tahun dan setelah era reformasi pun hanya mampu mencanangkan program wajib belajar hingga 12 tahun saja dan pendidikan gratis bagi peserta didik yang kurang mampu juga tidak ada henti hentinya di dengungkan, dari data demografi yang saya peroleh pun artinya wajar semisal mayoritas masyarakat hanya lulusan maksimal SMA atau sederajat. 

  Kalau Peserta Didik Sekolah Dasar dan Menengah Pertana dan Atas atau Kejuruan angkatan 1990 hingga awal tahun 2000an, pasti pernah mengenal Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GN-OTA), dimana wali murid dari siswa yang mampu secara keuangan, dapat memberikan bantuan keuangan kepada siswa yang kurang mampu secara keuangan seperti model subsidi silang untuk pembiayaan kegiatan belajar dan mengajar. Belum lagi fenomena bahwa terdapat beberapa Sekolah yang kekurangan tenaga pengajar dan pendidik di beberapa daerah menjadi "momok" bagi para pengampu pendidikan terlebih kepada Kepala Sekolah selaku penanggung jawab penyelenggaraan pendidikan di Sekolah. Fakta ini sekali lagi tidak bisa ditampik oleh Pemerintah Pusat. Dalam hal ini perwakilan Pemerintah Pusat yang diwakilkan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan bahwa mereka tidak mampu membiayai honor tenaga pengajar dan pendidik sesuai dengan kebutuhan tenaga pengajar dan pendidik tersebut sehingga dilimpahkan bebannya untuk honorarium tenaga pengajar dan pendidik tersebut ke Pemerintah Daerah yang berstatus Pegawai Non - ASN atau yang disebut sekarang bernama Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kontrak (PPPK) sehingga sepertinya untuk jangka waktu ke depan karir untuk tenaga pengajar dan pendidik sistem "outsourcing" dimana hanya pegawai struktutral yang berhak menyandang status Pegawai Negeri Sipil (PNS) sedangkan untuk tenaga fungsionalnya hanya berstatus Pegawai Non-ASN karena Pemerintah Daerah tidak dapat mengangkat atau menetapkan status tenaga pengajar menjadi Pegawai Negeri Sipil atau Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN). Menurut saya, itu hanya merubah penamaan nomenclature nya saja akan tetapi esensinya dimana untuk pembiayaan tenaga pengajar dan pendidik yang berstatus Pegawai Non-ASN tetap dibebankan kepada Pemerintah Daerah. Pertanyaannya sekarang, apakah semua Pemerintah Daerah Mampu memiliki anggaran yang memadai untuk mendanai semua biaya honorarium tenaga pengajar dan pendidik ? Belum lagi masalah kesenjangan sosial untuk honorarium antar Pegawai ASN antar daerah, seperti contoh honor Tunjangan Kinerja Daerah (TKD) Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berbeda jauh dengan TKD Pegawai ASN pada lingkungan Pemerintah Kota Bekasi, Tangerang, Depok dan lain lain. Hal ini menimbulkan kecemburuan hati pada bagi para tenaga pengajar dan pendidik antar daerah. Belum lagi perbedaan hak honorarium pada pegawai Non - ASN dengan pegawai ASN pun pada lingkungan sekolah dinilai terjadi kesenjangan. Sedangkan kewajiban untuk tugas mengajar peserta didik pun tidak berbeda jauh. Itupun sebabnya masih banyak "lubang" yang menganga dalam pengelolaan Pendidikan Dasar dan Menengah dan belum berlanjut pada tahap wajib belajar hingga ke jenjang Pendidikan Tinggi sepenuhnya.

  Untuk jenjang Sekolah Dasar dan Menengah, menurut Undang - Undang (UU) Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan dan Undang - Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), pembiayaan pendidikan terdiri dari 3 unsur yaitu Biaya Investasi (Lahan, sarana dan prasarana), Biaya Operasional (Gaji Tenaga Pendidikan, Listrik dan penunjang kegiatan belajar mengajar lainnya) dan Biaya Fungsional (seragam, buku, alat tulis, biaya transportasi siswa ke sekolah dan lain lain). 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline