Lihat ke Halaman Asli

Kesesatan Gerakan Mahasiswa (Deni Yuniardi)

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kampus, laboratorium kehidupan bernegara. Di kampus tumbuh berkembang berbagai pemikiran beserta pembawanya, terjadi interaksi politik bersama dengan segala perangkatnya, peroalan hukum yang senantiasa hangat menjadi perdebatan, berbagai style bersama dengan kelompok-kelompoknya, dan berbagai kepentingan yang menciptakan berbagai bentuk kerja sama, kompetisi dan terkadang saling bergesekan. Di kampus, kita belajar bernegara.

Di dalam kampus, terdapat masyarakat yang disebut “mahasiswa”. Kelompok pemuda elit dengan sejumlah keistimewaannya, mulai dari segi intelektulitas, energi, semangat, jaringannya yang luas, sampai pada peluang untuk memimpin gerakan lokal maupun nasional yang lebih besar ketimbang golongan pemuda lainnya. Dengan sejumlah keistimewaan tersebut, mahasiswa, dalam sistem pertahanan negara menduduki posisi sebagai “ujung tombak pertanan”. Mahasiswa, bukan saja kelompok-kelompok calon tenaga kerja, tapi lebih dari itu, mahasiswa adalah pewaris rahasia-rahasia pemimpin, yang paling sering mendiskusikan permaslahan bangsa.

Dalam posisi tersebut, mahasiswa merasa begitu bangga dengan identitasnya. Kebanggaan itu patut diapresiasi sebagai bentuk kecintaan terhadap identitas diri yang telah banyak membuktikan pengorbanannya sepanjang sejarah bangsa. Salah satunya adalah reformasi 1998 yang telah mengubah wajah negara dan bangsa ini menjadi sebuah negara demokratis sekaligus negara dengan penduduk islam terbesar yang paling moderat. Euforia reformasi 1998 tersebut masih bergema hingga kini. Peristiwa refoirmasi itu memang kemenangan dan kebanggaan bagi pemuda Indonesia. Kebanggaan itu bahkan menyebabkan mahasiswa masa kini seakan-akan menjadi bagian dari reformis-reformis 1998. Padahal mahasiswa hari ini terpisah jauh dengan pristiwa reformasi tersebut. Mahasiswa 1998 dengan mahasiswa sekarang adalah dua generasi yang berbeda.

Kebanggan dan euforia yang berlarut-larut menimbulkan kerinduan mahasiswa hari ini akan gerakan mahasiswa 1998. Mahasiswa hari ini seakan-akan terhipnotis dengan suasana reformasi dan tidak sedikit ingin menjadi bagian dari peristiwa bersejarah semacamnya. Maka tanpa diadari terdapat kemungkinan besar bahwa gerakan telah berorientasi pada sebuah keterlibatan individu maupun kelompok dalam sebuah peristiwa sejarah seperti reformasi, peristiwa semanggi atau trisakti. Padahal, masa kini jelas berbeda dengan lima belas tahun yang lalu. Jika lima belas tahun lalu mahasiswa dituntut harus turun ke jalan dan memaksa rezim untuk turun, maka sekarang kita tidak boleh meninggalkan usaha turun ke jalan seperti kala itu, namun kita juga dituntut untuk mengembangkan gerakan menjadi gerakan yang lebih spesifik dan melibatkan kalangan yang lain. Jika mahasiswa adalah golongan pemuda yang diulengkapi sejumlah keistimewaan, maka mahasiswa berkemungkinan dapat menjadi pelopor, organisator, leader dan motor penggerak bagi golongan pemuda yang lain. Pemuda-pemuda desa, pemuda-pemuda pekerja, hingga yang bukan pemuda adalah objek-objek yang sekarang harus diorganisir, diberdayakan, dibina, diarahkan, dan dimaksimalkan peran dan fungsinya oleh aktivis-aktivis mahasiswa melalui gerakannya. Terlabih lagi dengan tantangan global yang sama sekali baru :AEC (Assean Economic Community).

Gerakan mahasiswa yang menciptakan banyak aktivis idealis sangat dibutuhkan untuk melatih anak-anak bangsa. Namun, mahasiswa tidak boleh lupa bahwa kelanjutan dari sebuah gerakan kampus adalah gerakan luar kampus. Maka mahasiswa juga harus menyiapkan diri dengan sejumlah keahlian, keterampilan, kemampuan, jaringan, dan wawasan untuk terus bergerak di untuk masyarakat. Mahasiswa yang kini menjadi aktivis kampus, harus menyiapkan diri untuk bergerak tidak hanya di dalam kampus. Karena gerakan kampus dibatasi oleh waktu study dan  identitas kampus itu sendiri. Sebagai seorang pemuda aktivis yang mengklaim pembela kebenaran, pembela bangsa, maka gerakan dan kontribusi yang telah dimulai tidaklah patut hanya dibatasi oleh waktu studi selama empat-lima tahun. Jauh melampaui waktu menjadi “mahasiswa” yang terbatas itu, bangsa ini membutuhkan kontribusi lebih nyata dan lebih lama. Komitmen seorang pemuda yang demikianlah yang akan melahirkan tokoh-tokoh seperti Founding Father, pemikir dan tokoh besar yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline