Lihat ke Halaman Asli

Rokok dan Beban Ekonomi Masyarakat

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Rumah Tangga Perokok cenderung memiliki pengeluaran rokok "Daripada ga merokok lebih baik ga makan. 
Daripada ga merokok, anak ga sekolah ga apa apa" Pengetahuan bahwa merokok dapat menimbulkan berbagai penyakit dan mengancam kesehatan masyarakat sudah menjadi pengetahuan umum yang difahami oleh orang banyak. Merokok dapat membahayakan perokok dan orang-orang di sekitarnya dengan meningkatkan resiko terkena penyakit jantung, rupa-rupa kanker, penyakit pernapasan dan berbagai penyakit lainnya. Namun upaya mengontrol dan membatasi peredaran rokok dan kebiasaan merokok seringkali tidak mendapatkan dukungan yang maksimal. Salah satu penyebabnya adalah Industri rokok selalu menghidupkan perdebatan antara kesehatan masyarakat vs pendapatan Negara dan petani tembakau setiap kali ada usulan peraturan baru dalam masalah pandemi rokok. Salah satu contoh perdebatan itu adalah kekhawatiran akan hancurnya industri tembakau jika Negara meratifikasi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control). Perdebatan serupa juga muncul saat pemerintah akan menerapkan kebijakan peringatan bergambar pada 24 Juni 2014 yang oleh industri rokok disebut akan mematikan produsen rokok kecil. Berbagai kekhawatiran ini sebetulnya dapat dengan mudah dibantah karena didasarkan pada asumsi yang sebetulnya sudah terjawab dengan berbagai penelitian dan best practice di Negara-negara lain. Rokok Keuntungan atau Beban Ekonomi Negara? Industri rokok selalu mengklaim memiliki kontribusi yang besar bagi ekonomi Negara. Pendapatan yang cukup besar dari cukai tembakau, penyerapan tenaga kerja dan petani tembakau selalu dijadikan dasar atas klaimnya ini. Apalagi saat krisis melanda Indonesia pada akhir tahun 90-an, dimana inflasi mencapai 15% dan pertumbuhan ekonomi yang minus, industri rokok adalah salah -satu, industri yang masih mengalami pertumbuhan yang pesat. Saat industri lain merugi, industri rokok menjadi satu-satunya industri yang selalu untung disaat ekonomi baik ataupun memburuk. Disisi lain fenomena ini mengkonfirmasi bahwa rokok adalah produk yang adiktif, karena saat susah sekalipun orang masih memaksakan diri untuk mengkonsumsi rokok. Perhitungan yang dilakukan oleh balitbangkes pada tahun 2010 menunjukkan bahwa pendapatan Negara dari cukai rokok tidak sebanding dengan kerugian ekonomi masyarakat karena dampak yang ditimbulkan oleh konsumsi rokok. Meskipun cukai yang didapat dari rokok saat itu mencapai 55 triliun, namun beban ekonomi masyarakat mencapai 245 Triliun yang terdiri dari biaya konsumsi rokok, biaya perawatan penyakit dan kehilangan tahun produktif. Negara rugi 5 kali lipat! Sehingga asumsi bahwa Negara untung besar dari cukai rokok sudah terbantahkan sejak semula. Disamping itu, logika bahwa cukai rokok merupakan sumbangan industri rokok kepada Negara juga merupakan sebuah kesalahpahaman. Karena cukai adalah hukuman yang diberikan Negara bagi barang-barang yang menimbulkan kerusakan di masyarakat dan lingkungan seperti rokok dan alcohol. Cukai adalah pajak dosa (sin tax) yang dikenakan dengan tujuan untuk mengendalikan konsumsi barang berbahaya tersebut dan keadilan serta keseimbangan (UU no 39 / 2007 tentang Cukai pasal 2). Pembebanan cukai semestinya bisa mengerem konsumsi rokok dan memberikan insentif kepada Negara untuk menanggulangi efek negatifnya. Apalagi cukai juga dibebankan kepada pengguna produk, bukan produsennya. Sehingga jelas cukai bukanlah sumbangan industri tapi hak Negara yang dibebankan kepada pengguna produk-produk yang membahayakan. Dalam masalah cukai rokok meski sudah banyak perkembangan, namun Indonesia juga masih belum maksimal. Jika dibandingkan dengan pendapatan cukai rokok Thailand, dengan perokok yang berjumlah kurang lebih 15 juta dan konsumsi rokok 35 milliar batang pertahun, ia mendapatkan cukai senilai 1,9 juta USD. Sementara Indonesia dengan jumlah perokok 80 juta dan konsumsi rokok 261 miliar batang per tahun, mendapatkan cukai 7,5 juta USD. Indonesia seharusnya bisa mendapatkan cukai sekitar 8 – 9 juta USD dari konsumsi sebanyak itu. Selain data diatas rokok juga mengancam membebani Negara karena akan mengganggu produktifitas penduduk dalam jangka panjang. Sebagaimana diketahui bahwa rokok meningkatkan resiko terkenanya berbagai penyakit seperti serangan jantung, gangguan pernafasan, diabetes, stroke dan lainnya. Para perokok memiliki resiko yang lebih besar terkena penyakit diatas disbanding non perokok. Tidak hanya itu jika seseorang terkena penyakit-penyakit diatas selain ia akan kehilangan produktif karena tidak bisa lagi bekerja, namun ia juga akan menambah bebas bagi keluarga. Karena biaya yang harus ditanggung akan semakin besar dan mempengaruhi terhadap keuangan keluarga. Sehingga kebiasaan merokok yang akan menimbulkan bencana yang dalam jangka panjang yang mengancam produktifitas dan keuangan Negara. sumber gambar : http://sangadjinia.wordpress.com/2010/06/24/rokok-lebih-berharga-daripada-buku/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline