Lihat ke Halaman Asli

Deni Toruan

Pendukung Timnas Belanda

Benarkah Jokowi Berkhianat?

Diperbarui: 7 November 2023   12:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sejak tahun 2008, saya mengikuti perjalanan politik Pak Jokowi dengan penuh antusiasme. Saat itu, Pak Jokowi masuk sebagai salah satu dari sepuluh kepala daerah yang menginspirasi pilihan majalah Tempo. Dengan langkah-langkah yang mantap, sederhana, penuh integritas, dan menginspirasi, Jokowi telah menarik perhatian public. Tak hanya di level daerah, Namanya juga langsung beredar di se-antero Indonesia. Banyak yang langsung menyukainya. Termasuk saya.

Saya tertarik dan menjadi pendukungnya ketika Jokowi memutuskan untuk mengambil jalur yang lebih tinggi, yaitu menjadi Gubernur Jakarta pada tahun 2012. Tak hanya sampai di situ, saya juga jadi pendukung ketika beliau kemudian mencalonkan diri sebagai capres pada tahun 2014. Pada masa kampanye tersebut, saya bahkan menjadi relawan yang ikut bekerja untuk memenangkan Jokowi. Baik kampanye di lapangan ataupun kampanye di media sosial. Keputusan itu terasa benar, dan ketika beliau terpilih menjadi Presiden, kegembiraan saya tak terhingga.

Pemimpin yang ideal bagi saya adalah seseorang yang jujur, sederhana, berani, dan tidak mau melibatkan keluarganya dalam urusan kekuasaan. Dan ini saya lihat ada di Pak Jokowi. Saya sangat menghargai Jokowi karena dia memegang prinsip-prinsip ini. Keluarganya diberi kesempatan untuk berkembang di bidang bisnis, termasuk bisnis UMKM, tanpa ikut-ikutan campur tangan dalam urusan politik.

Namun, kekecewaan datang pada tahun 2020. Saya sangat terpukul ketika Pak Jokowi memberikan izin kepada Gibran untuk menjadi Walikota Solo dan Bobby untuk menjadi Walikota Medan. Menurut pandangan saya, Pak Jokowi seharusnya tidak perlu memberikan izin saat itu. Saya berpikir bahwa cukuplah anak-anaknya berkarir di dunia bisnis, sehingga keaslian dan ketulusan cita-cita idealisme yang saya kagumi dari beliau tetap terjaga.

Tidak hanya kecewa dengan Jokowi, saya juga merasa kecewa dengan partai-partai politik yang mendukung Gibran dan Bobby dalam pencalonan mereka sebagai walikota. Partai-partai ini, yang selama ini memegang prinsip-prinsip demokrasi, tampaknya turut berkontribusi dalam memelihara kekuasaan yang dipengaruhi oleh ikatan keluarga. Fenomena ini dikenal dengan istilah "politik dinasti."

Nah, karena itu juga saya tak habis pikir dengan partai-partai yang bersuara keras akhir-akhir ini. Menurut saya bahwa partai-partai yang dulu mendukung Gibran dan Bobby maju sebagai walikota, dan sekarang berteriak tentang politik dinasti adalah sesuatu yang patut dipertanyakan. Tidak adil, dan ini sungguh tidak dapat diterima akal.
Karena fenomena tahun 2019 itu, sejak awal munculnya Gibran dan Bobby sebagai kandidat, akhirnya saya mulai mereset ulang pandangan terhadap dunia politik. Saya mulai menata hati untuk mengurangi kekecewaan. Mulai belajar untuk mengelola ekspektasi dan berusaha memahami bahwa dalam politik, realitas seringkali berbeda dengan idealisme. Mulai semakin menyadari bahwa elit politik lebih sering berfokus pada kepentingan daripada gagasan yang ideal.

Oleh karena itu, ketika melihat fenomena Prabowo dan Gibran mencalonkan diri seperti saat ini, menurut saya kita harus mengamati fenomena ini dari sudut pandang pragmatisme dan kepentingan saja. Bukan suatu idealisme murni yang kita tuntut harus terpenuhi. Karena memang seperti itulah hakikat dari politik. Menyeimbangkan idealisme dan pragmatisme untuk mencapai cita-cita.

Ada juga yang menyampaikan bahwa tindak tanduk pada fenomena Gibran ini adalah suatu manifestasi "abuse of power". Menurut saya kata-kata ini merupakan term yang terlalu keras. Sebelum menuduh terlalu jauh, apalah kita, elit dan partai-partai itu melihat kondisi riil yang terjadi di lapangan?

Semua adalah kepentingan, dan fenomena ini terjadi di mana-mana. Hal ini terjadi dari tingkat desa, kabupaten bahkan sampai tingkat provinsi. Di level desa dan kabupaten bahkan lebih jahat, yang potensi memilih calon kepala desa/bupati akan masuk daftar dan mereka berpotensi dapat bantuan sembako/bedah rumah. Yang berpotensi tidak memilih, maka konsekuensinya tidak masuk daftar. Tentu fenomena ini jauh lebih runyam, karena sudah sampai mengganggu hak masyarakat mendapatkan kehidupan yg layak.

Saya tidak sedang mencari pembenaran, hanya mengajak kita semua untuk melihat lebih luas, komprehensif dan lebih adil. Untuk itu, kita tidak boleh merasa terhianati atau tersakiti. Dan khusus untuk partai (anggota partai), jangan juga menjadi terlalu naif. Dalam politik, tidak ada istilah pengkhianatan atau luka hati. Yang ada adalah kesamaan atau perbedaan kepentingan. Jika kepentingan kita sama, maka kita akan bersatu dan saling mendukung. Namun, jika kepentingan kita berbeda, maka kita harus memahami bahwa pihak kita dan pihak lain harus bersaing. Entah nanti, setelah bertanding, kita akan berkumpul dan guyub lagi.

Pada dasarnya dalam politik, idealisme kadang-kadang harus ditempatkan dalam konteks realitas yang ada. Kita harus mampu memahami perubahan dan berkompromi, tetapi juga tetap mengingat nilai-nilai yang benar dan prinsip-prinsip yang kita percayai. Politik adalah dunia yang kompleks, dan kita harus belajar untuk menghadapinya dengan bijak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline