Pada saat baru sampai di London, untuk sementara waktu, saya ditempatkan oleh "induk semang" (landlord) di sebuah flat. Menunggu kamar saya beres dan siap ditempati di rumah yg sudah disepakati sebelumnya.
Flat ini berada di bangunan yg relatif sudah tua. Tempat kami berada di lantai 3, di dalamnya terdapat 4 kamar yg ukurannya kecil-kecil, sekitar 2,5x2,5. Di flat ini, penghuni kamar berbagi satu kamar mandi/toilet dan satu dapur, yang ukurannya juga kecil. Kamar mandi/toilet berukuran 1,5x1, sementara dapur berukuran 1,5x1,5.
Setelah 2 hari menginap di sana, saya baru mengenal semua kawan yg tinggal di flat itu. Ternyata ada 4 orang lain disana, 3 perempuan dan 1 laki-laki. 2 perempuan berasal dari Italia, 1 dari Polandia sementara yg laki2 dari Hongaria.
Mereka semua bekerja, 3 orang jadi penjaga restoran, dan perempuan yg dari Polandia bekerja di kantor sebagai petugas call centre.
Kepada semua kawan2 ini, saya selalu mengajukan pertanyaan yg sama. "Bagaimana pandangan mereka terhadap London?". Ternyata semua berkata bahwa hidup di London sangat berat, khususnya karena harga2 sangat tinggi. Biaya transportasi sangat besar, biaya tempat tinggal apalagi. Mereka sampaikan kamar kecil yg ditempati itu harus mereka bayar 700£ per bulan. Benar2 angka yg besar untuk fasilitas yg ada.
Kemudian ketika saya tanya, kalau hidup sangat keras di sini, kenapa datang jauh2 ke London cari kerja.
Jawabannya adalah mencari peruntungan dan kehidupan yg lebih baik di banding tinggal di negaranya. Syukur-syukur bisa menabung. Kawan yg dari Hongaria cerita, dia sarjana lulusan Fakultas Hukum. Walaupun sarjana, tetapi sangat susah cari pekerjaan di negaranya. Dia tunggu 6 bulan mencari-cari pekerjaan, tetapi gak dapat juga yang cocok dan pas. Akhirnya dia putuskan mengembara di London.
Setelah pindah ke tempat baru, saya bertemu lagi dengan kawan-kawan yang baru. Salah satu dari mereka itu adalah seorang kawan dari negara Mauritus. Negara kecil di sebuah pulau, di sebelah tenggara benua Afrika. Kawan ini sudah bekerja di London selama sepuluh tahun. Dia seorang profesional IT, pernah bekerja di sebuah Bank besar yang berasal dari Jerman dan saat ini di perusahaan minyak yang berasal dari Perancis. Dari diskusi kami, kawan ini mengakui bahwa walaupun dia seorang profesional, punya keahlian, tetapi tetap juga menghadapi hidup berat di kota London. Dia merasa sangat sulit untuk punya rumah di sekitaran London. Bahkan di zona luar. Dia berencana untuk 1-2 tahun ke depan, dia akan mulai berusaha membeli sebuah flat dengan cara kredit, tentu dengan mengumpulkan down payment terlebih dahulu.
Kemarin lusa saya membaca surat kabar London Evening Standard. Di sana dituliskan bahwa harga properti di sekitaran London, dari zona 1-6, sudah tak terbayangkan lagi. Di zona pinggir, sudah susah mendapatkan rumah di bawah £300,000 (Rp.5,5M). Naik berlipat-lipat dibanding beberapa tahun sebelumnya. Disampaikan juga di pemberitaan itu, bagi seorang profesional muda yang sudah menikah, walaupun telah menggabungkan pendapatan suami dan istri, tetap akan susah untuk punya rumah sendiri di kota ini. Ditambahkan, kemungkinan hanya ada 2 cara untuk bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan properti, yaitu dengan mendapat bantuan dari orang tua untuk membayar DP, atau kalau tidak harus menunggu dulu pemerintah kota membangun 90,000 perumahan terjangkau di sekitaran kota London.
Dengan hasil observasi singkat di atas, entah kenapa saya menjadi agak ‘gregetan’ membaca status-status beberapa kawan di Indonesia di media sosial atau komentar-komentar di media-media online tentang kondisi di Indonesia saat ini. Saya perhatikan banyak sekali keluhan, banyak umpatan, banyak orang yang pesimis dengan kondisi Indonesia. Dan yang paling aneh, malah sebagian ingin hijrah dan pindah ke negara-negara lain.
Entah kenapa, setelah pernah tinggal di Jepun selama 3 tahun dan saat ini sementara waktu berada di UK, menurut saya, bagi golongan menengah ke atas, saya pikir Indonesia adalah surga. Percayalah, Indonesia adalah surga. Surga dengan segala fasilitas dan kemudahan hidup yang ada.