Lihat ke Halaman Asli

Denis Guritno Sri Sasongko

Pendidik dan Pembelajar

Luweh! Tips Jitu Kerja bareng Orang Toxic

Diperbarui: 16 September 2024   23:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

CNBC Indonesia / Ilustrasi Edward Ricardo

Pertanyaan dalam judul sebenarnya lama terngiang di kepala. Kalau ada yang bilang ketemu hantu itu serem, rasa-rasanya dia belum pernah ketemu dan kerja bareng orang dengan yang toxic lengkap dengan post power syndrome (PPS). Lebih serem! Asli! 

PPS, apa itu? 

Beberapa referensi menyebutkan bahwa PPS adalah kondisi kejiwaan yang umumnya dialami oleh orang-orang yang kehilangan kekuasaan atau jabatan yang diikuti dengan menurunnya harga diri. Konotasi kata "power" tak lain menunjuk pada sosok yang tadinya aktif, banyak kegiatan, mendadak hilang semua sehingga timbul ketidaknyamanan. Jadi, orang yang mengalami PPS adalah orang-orang yang tidak bisa menerima perubahan yang terjadi, sebenarnya. Dan perubahan yang tidak bisa dia terima itu adalah perubahan yang berkaitan dengan hilangnya aktivitas, hilangnya kekuasaan, hilangnya harta, dan sebagainya.

PPS terekspresi dalam bayangan pencapaiannya pada masa lalu dan membandingkannya dengan masa kini. Maka, tak jarang hal ini menurunkan rasa percaya diri dan menyebabkan depresi. Tidak hanya orang yang baru pensiun, mereka yang baru dipindah ke tempat kerja yang baru pun tak jarang mengalami PPS ini. Pekerjaan tak lain adalah bentuk kepuasan atau pencapaian diri. Tetapi tak jarang, ada pula yang beranggapan bahwa pekerjaan adalah identitasnya, atau kesempatan untuk bersosialisasi dan mengasah kemampuan berpikir.

 Luweh, lebih dari Sekadar Tips Jitu

Suatu kesempatan, bertahun-tahun lalu, diutuslah seseorang bekerja di sekolah, tempat saya bekerja. Selidik punya selidik, sebelumnya orang ini termasuk petinggi manajemen sekolah. Polah tingkahnya tak mau kalah, tahu segalanya. Bahkan kalau dalam rapat, tak boleh kalah berdebat. Semua orang bisa jadi salah di mata dia. 

Apes, di satu kesempatan, orang ini meneruskan pesan di grup kami. Isi pesannya tak lain menyoroti praktik ibadah di lingkungan Gereja. Secara fundamental, ada yang kurang tepat dalam pesan itu. Ada problem teologis yang perlu diluruskan. Mengingat hal tersebut sesuai dengan kapasitas saya, ya niatan awal adalah meminta beliaunya meluruskan informasi yang diteruskannya tersebut apalagi informasi itu disebarkan melalui media. Jelas jadi content. Kalau mau sedikit terbuka, ya tentunya maksud itu sebenarnya mudah dipahami. Toh, sudah dijelaskan dan yang tahu asal muasal info itu ya dia. 

Tak lama berselang, saya pun dikontak secara pribadi lewat WhatsApp. Sudah dijelaskan dengan baik pula karena memang tidak ada niatan untuk menyudutkan. Eh, nggak tahunya ngambek. Sore hari, dia left group tanpa pamitan. Hahaha..... 

Nggak cukup begitu. Selang beberapa hari, karena merasa punya relasi dengan atasan, ceritalah dia ke atasan. Ceritanya sudah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga atasan pun sampai percaya, memanggil untuk klarifikasi dan bahkan berinsiatif mendamaikan. Dramatis dan toxic, bukan? Saya sendiri heran. Sudah diklarifikasi dengan bukti percakapan yang cukup, tetap saja fakta-fakta tersebut tidak dipercaya. Singkatnya, ya tentu sudah terbentuk opini yang diyakini kebenarannya. Bukannya meluruskan, tetapi ya begitulah. Sampai akhirnya, saya pun berkeyakinan. Ya sudahlah, ngapain juga meladeni orang ang nggak selesai dengan dirinya sendiri. 

Jelas hal ini tanpa risiko. Bagaimana tidak, wong statusnya tak lain adalah orang yang mengikrarkan kaul kemurnian, kemiskinan dan ketaatan. Namun disayangkan, hal itu tidak sebanding dengan kualitas pribadi dalam dunia kerja. Alhasil, ya saya dipandang negatif oleh sebagian orang yang meyakini kisah orang ini. Asli serem! 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline