Bahasa Gaul dari waktu ke waktu
Setiap generasi punya bahasanya sendiri. Belakangan, kita dikenalkan dengan bahasa gen alpha, seperti skibidi, rizz, ohio, mewing, dan masih banyak lagi. Namun, jangan salah bahasa gaul Indonesia tak kalah banyak macamnya. Beberapa di antaranya ada yang dibalik abjadnya, misalnya sabi, kuy, takis, sabeb. Ada pula yang diplesetkan, misalnya jijay, gemoy, cembokur. Dan, ada pula yang dibuat singkatan, clbk, otw, gws.
Dari masa ke masa, bahasa gaul menjadi ciri khas yang mengikuti perkembangan zaman. Ramai dipakai bahasa plesetan di era 1970-1980 tentunya tak lepas dari serial televisi Si Boy atau Warkop DKI. Kosakata gaul yang digunakan misalnya, bokap-bapak, nyokap-ibu, gokil-gila, pembokat-pembantu.
Kemudian, di era 2000-an, muncul banyak kosakata yang terkesan cute dan manjalita, misalnya akika-aku, capcus-ayo, metong-mati. Demikian pula seiring dengan perkembangan telepon seluler di era 2010-2015, berkembang pula bahasa untuk menyiasati biaya pengiriman SMS meski kadang terkesan alay. Misalnya, ea-iya, se7-setuju, Q-aku. Terakhir, dengan beragam media sosial yang berkembang, berkembang pula kata serapan dari bahasa asing. Misalnya, healing-pergi bersantai, gabut-tidak ada kegiatan.
Penting disadari bahwa pesatnya perkembangan bahasa gaul kadang tidak dipahami oleh generasi sebelumnya. Pernah, terjadi salah paham sampai membuat si penutur keheranan mengapa kok penyampaiannya direspon secara emosional. Sampai di sinilah saya memahami bahwa bahasa tak lain adalah identitas.
Kalau mau relate dengan generasi tersebut, ya silakan pelajari bahasanya karena dari bahasalah, kita bisa menyingkap jendela ke dalam pikiran dan budaya generasi tersebut, bagaimana mereka berpikir, berinteraksi, dan memandang dunia. Maka, bahasa gaul bukan sekadar tren, tetapi juga cepatnya perubahan yang terjadi di lingkungan kita. Di sinilah tantangannya!
Praktik Menjadi Detektif Kata
Sebagian orang berpendapat bahwa bahasa gaul mudah dikuasai. Minimal sering-sering saja membiasakan diri berselancar di media sosial atau nongkrong di coffee shop. Namun, tidak demikian dengan bahasa ilmiah. Jangankan menyusun rangkaian ide secara terstruktur dan sistematis dalam satu karangan . Membedakan mana kata benda, kata sifat, dan kata kerja saja masih kesulitan. Maka, berikut salah satu sesi pembelajaran Bahasa Indonesia yang dipraktikkan di sekolah saya.
Saat masuk kelas, saya mengawali perbincangan dengan memberi pertanyaan pemantik,"apakah kalian pernah membaca kisah, entah dalam komik, novel, cerita pendek atau apa pun yang berhubungan dengan kasus-kasus tak terpecahkan?" Sontak pertanyaan itu mengundang berbagai macam jawaban; pernah, pak! saya baca komiknya, pak! oh saya tahu beberapa cerita pak, saya punya novelnya!
"Nah, biasanya kalian menemukan siapa tokoh penting yang berupaya memecahkan kasus itu?"